Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan telah disahkan, membawa secercah harapan baru bagi korban kekerasan seksual. Salah satu poin yang menjadi sorotan adalah aborsi bersyarat bagi korban perkosaan.
Namun, meski telah disahkan, penerapan PP ini membutuhkan Peraturan Menteri (Permen) yang harus diterbitkan oleh Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin. Tanpa Permen ini, sebagian besar aturan dalam PP sulit untuk dijalankan secara teknis.
Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik dari PH&H Public Policy Interest Group, dalam wawancaranya dengan CNN Indonesia, menyatakan, "Tanpa Peraturan Menteri, 90% (aturan) enggak bisa dijalankan. Mungkin ada yang bisa dijalankan, tapi mesti ada Peraturan Menterinya sebagai juknis."
Hingga saat ini, aborsi selalu menjadi topik yang mengundang pro kontra di tengah masyarakat. Menurut laporan Ipsos, secara global, 56% masyarakat berpandangan aborsi harus dilegalkan, sedangkan 28% berpendapat bahwa aborsi adalah tindakan ilegal.
Besarnya suara pro dan kontra ini pun bergantung pada usia kehamilan. Sebanyak 60% responden setuju aborsi harus dilegalkan dalam enam minggu pertama kehamilan, namun angka ini turun menjadi 25% setelah 20 minggu kehamilan.
Dukungan tertinggi terhadap aborsi tercatat di Eropa, dengan Swedia dan Prancis memiliki tingkat sentimen tertinggi (masing-masing 87% dan 82%). Sebaliknya, dukungan terendah tercatat di Asia, di mana Indonesia dan Malaysia menjadi negara dengan tingkat dukungan terendah, masing-masing hanya 22% dan 29%.
Indonesia Jadi Negara yang Masyarakatnya Paling Anti Aborsi
Berdasarkan survei Ipsos, Indonesia menjadi negara yang paling menentang legalisasi aborsi di antara 29 negara yang disurvei, bahkan bertahan di posisi yang sama dari tahun lalu. Dari negara-negara tersebut, Indonesia, Malaysia, Kolombia, Brasil, dan Peru menjadi negara yang mayoritas penduduknya paling menentang legalisasi aborsi.
Di Indonesia, 74% penduduk berpendapat bahwa aborsi harus ilegal. Rinciannya, 37% mengatakan aborsi harus ilegal dalam semua kasus, dan 37% mengatakan aborsi harus ilegal dalam banyak kasus. Hanya 22% yang mendukung aborsi legal dan 1% yang mendukung aborsi legal dalam semua kasus.
Tingginya angka penolakan ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia secara luas menentang alasan-alasan apapun itu yang mendukung legalisasi aborsi.
Kehamilan Akibat Perkosaan Ditolak Jadi Alasan Dilegalkannya Aborsi di Indonesia
Secara global, hampir delapan dari sepuluh orang dunia (78%) percaya bahwa aborsi harus dilegalkan jika kehidupan atau kesehatan seorang wanita berisiko. Di Indonesia, angka ini sama, menunjukkan bahwa masyarakat setuju dengan alasan tersebut.
Namun, dalam kasus perkosaan, Indonesia mencatat dukungan terendah untuk legalisasi aborsi. Hanya 32% yang mendukung, sementara 50% menolak, menjadikannya negara dengan orang yang lebih banyak menentang aborsi daripada mendukung dalam kasus ini.
Selain itu, 41% masyarakat Indonesia menolak legalisasi aborsi jika bayi akan lahir dengan disabilitas atau masalah kesehatan. Untuk kehamilan pada minggu ke-6, ke-14, dan ke-20, masyarakat juga menolak jika aborsi dilakukan, dengan persentase sebanyak 44%, 57%, dan 65%.
Penolakan masyarakat terhadap aborsi dalam kasus perkosaan sebenarnya bertentangan dengan hukum Indonesia yang mengizinkan aborsi bersyarat. Ini menunjukkan kurangnya empati dan pemahaman terhadap penderitaan korban perkosaan yang harus menghadapi kehamilan akibat kekerasan.
Dukungan dan perlindungan lebih besar diperlukan untuk para korban agar mereka dapat membuat keputusan yang terbaik bagi kesehatan fisik dan mental mereka.
Baca Juga: Indonesia Masih Bolehkan Aborsi untuk Korban Perkosaan, Bagaimana dengan Negara ASEAN Lain?
Penulis: Intan Shabira
Editor: Editor