Setiap orang, tak memandang usia, ras, dan jenis kelamin, berhak untuk merasa aman di tempat tinggalnya. Apabila tempat tinggalnya saja tidak mampu memberikan rasa aman dan nyaman, lantas harus di mana ia pergi? Rasanya wanita di seluruh dunia turut merasakan hal ini, isu ketidakamanan yang dirasakannya tiap kali keluar rumah.
Kalau ditanya, pasti banyak wanita yang menjawab takkan berani keluar rumah kalau sudah gelap, katanya takut. Bahkan keluar seorang diri di tengah siang hari bolong saja sudah menjadi aktivitas menakutkan bagi wanita di belahan dunia tertentu. Lantas, mau sampai kapan wanita hidup dalam rasa takut?
Georgetown Institute for Women, Peace, and Security (GIWPS) merilis indeks WPS (Women, Peace, and Security) guna mengukur tingkat keamanan 177 negara di seluruh dunia terhadap perempuan. Indeks ini juga mengukur tingkat status wanita dalam suatu negara yang dapat digunakan sebagai landasan dalam penyusunan kebijakan, terutama yang berkaitan dengan hak dan kewajiban wanita.
Indeks WPS diukur berdasarkan 3 dimensi, yakni tingkat keikutsertaan wanita (inklusi), keadilan bagi wanita, dan keamanan. Dimensi keikutsertaan mengukur 5 buah indikator, yakni:
- Edukasi
- Keikutsertaan secara finansial
- Pekerjaan
- Penggunaan cellphone
- Perwakilan parlemen
Sementara itu, dimensi keadilan diukur berdasarkan 4 buah indikator, yakni:
- Ada tidaknya diskiriminasi secara hukum
- Akses terhadap keadilan
- Kematian maternal
- Bias terhadap anak laki-laki
Terakhir, dimensi keamanan diukur berdasarkan 4 buah indikator, yakni:
- Kekerasan dari pasangan
- Keamanan komunitas
- Kekerasan politik
- Kedekatan terhadap konflik
Indeks diberi skor antara 0-1. Skor tersebut diperoleh dari rata-rata nilai untuk setiap dimensi. Untuk itu, semakin besar nilainya, maka semakin besar pula tingkat keamanannya bagi wanita. Sayangnya, pada edisi 2023/2024, tidak ada negara yang memperoleh skor sempurna, yakni 1. Skor terendah diraih oleh Afghanistan, dengan indeks WPS sebesar 0,286.
Setelah Afghanistan, Yemen berada di urutan kedua negara paling tidak aman untuk perempuan, skornya mencapai 0,287. Republik Afrika Tengah di posisi ketiga dengan skor 0,378. Peringkat keempat dipegang oleh Republik Demokratik Kongo dengan indeks WPS sebesar 0,384. Afghanistan, Yemen, dan Republik Demokratik Kongo sudah berada di peringkat terbawah sejak tahun 2017.
Kebanyakan negara yang berada di peringkat terbawah ini termasuk ke dalam Fragile States (Negara Gagal), yang merupakan ukuran untuk menilai pertahanan negara terhadap suatu konflik untuk semua negara berdaulat anggota PBB.
"Rata-rata di negara-negara tersebut, 1 dari 5 wanita telah mengalami kekerasan dari pasangan baru-baru ini, 6 dari 10 wanita hidup berdekatan dengan konflik, dan tingkat kematian maternal ada di angka 540 per 100.000 kelahiran, lebih dari 2 kali lipat dibandingkan rata-rata global sepesar 212," ungkap laporan Women, Peace, and Security Index 2023/24.
Sementara itu, Indonesia sendiri berada di urutan ke-82 dengan indeks WPS sebesar 0,7. Indonesia memperoleh skor yang sama dengan China, dan di bawah Indonesia ada Tonga degan skor 0,697. Dalam ukuran ASEAN, peringkat Indonesia masih kalah jauh dari Singapura (peringkat 15), Thailand (peringkat 52), Malaysia (peringkat 64), dan Vietnam (peringkat 78).
Di tahun 2023 sendiri (Januari-September), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) mengungkapkan terdapat lebih dari 17 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan, mayoritas korbannya masih berusia 13-17 tahun. Lebih lanjut, jenis kekerasan yang paling sering terjadi adalah kekerasan seksual.
Nyatanya, Indonesia bukanlah tempat teraman bagi wanita untuk tinggal, Indeks WPS dan tingginya kasus kekerasan bicara sendiri untuk hal itu. Perlu adanya kesadaran dari setiap lapisan masyarakat dan komitmen untuk membenahi masalah keamanan ini.
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Iip M Aditiya