Semenjak Pemilu 2024 di Indonesia, yang merupakan pesta demokrasi terbesar ketiga di dunia dilaksanakan, penggunaan media sosial sebagai sumber berita terus melampaui media cetak dan televisi. Pemilu di tanggal 14 Februari yang menetapkan Menteri Pertahanan Indonesia dan mantan kepala Kopassus, Prabowo Subianto sebagai Presiden RI serta isu penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, memunculkan kekhawatiran akan populisme yang tidak liberal dan kemunduran demokrasi. Media sosial, khususnya TikTok, menjadi platform utama dalam kampanye pemilu, sementara media konvensional dan media online tetap menjadi sumber berita yang dominan.
Dalam pemilu di mana 56,5% pemilih lahir setelah tahun 1980, ketiga kandidat presiden memanfaatkan TikTok dan platform media sosial lainnya secara maksimal. Namun, Prabowo Subianto berhasil menarik perhatian dengan video yang menggunakan gambar AI yang menampilkan dirinya sebagai "gemoy", atau kakek yang lucu dan menawan.
"Kampanye gemoy ini adalah strategi baru yang berbeda dari kampanye sebelumnya, yang lebih menonjolkan nasionalisme sayap kanan dan daya tarik Islamis," kata Ross Tapsell, seorang pengamat media.
Meski dominasi media sosial kerap terasa, laporan Reuters Institute for the Study of Journalism Digital News Report 2024 menunjukkan bahwa TvOne (43%) dan Detik.com (50%) menjadi media konvensional dan online yang paling sering digunakan masyarakat Indonesia untuk mengakses berita.
Baca Juga: Gelombang PHK di Media dan Peringkat Kebebasan Pers yang Merosot
Dominasi Media Sosial dalam Penyebaran Berita
Popularitas media sosial sebagai sumber berita di Indonesia sangat signifikan, dengan 60% penduduk melaporkan bahwa mereka mendapatkan berita dari platform seperti WhatsApp, YouTube, Facebook, dan Instagram. TikTok, khususnya, mengalami lonjakan popularitas sebagai sumber berita, naik 7 poin persentase dari 22% menjadi 29%.
"WhatsApp tetap menjadi platform media sosial yang paling dominan untuk berbagai keperluan, termasuk berita," demikian laporan Reuters Institute.
Namun, popularitas media sosial juga memunculkan tantangan, terutama terkait penyebaran disinformasi, propaganda politik, hoaks, dan ujaran kebencian. Selama pandemi Covid-19, misinformasi meningkat tajam, dan Pemilu 2024 memunculkan kekhawatiran tentang penggunaan akun otomatis dan komentator bayaran, yang dikenal sebagai "buzzers", untuk mempromosikan kepentingan politik tertentu.
Kampanye Prabowo, misalnya, memanfaatkan citra gemoy untuk "membersihkan" wacana publik dari kontroversi masa lalunya, seperti tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste, Papua, dan Aceh.
Media seperti Tempo dan The Jakarta Post secara konsisten mengingatkan pembaca tentang sejarahnya, termasuk pemecatannya dari militer pada tahun 1998 karena melanggar hukum dan perintah.
Tantangan Media Tradisional di Tengah Perubahan Zaman
Media konvensional seperti TvOne (43%), Kompas (41%), dan Metro TV (36%) tetap menjadi pilihan utama masyarakat Indonesia, meskipun menghadapi tantangan besar. Menurunnya pendapatan iklan akibat munculnya platform belanja online seperti Shopee dan Tokopedia telah memperburuk situasi keuangan media tradisional.
"Tidak ada penutupan besar-besaran outlet media pada tahun 2023, tetapi tekanan ekonomi tetap menjadi ancaman serius," tulis laporan Reuters Institute.
Selain itu, pergantian kepemimpinan di ruang redaksi juga mempengaruhi dinamika media. Banyak pemimpin industri media yang bekerja selama kejatuhan Soeharto kini telah pensiun, mengingat usia pensiun di Indonesia adalah 58 tahun pada 2023.
Di sisi lain, media online seperti Detik.com (50%), Kompas (39%), dan Tribunnews (28%) terus mendominasi preferensi masyarakat untuk mengakses berita secara digital. Media online menawarkan kecepatan dan kemudahan akses yang sulit ditandingi oleh media konvensional, meskipun tantangan seperti hoaks dan disinformasi juga ikut meningkat di ranah digital.
Ancaman terhadap Kebebasan Pers dari Regulasi Baru
Penerapan KUHP baru, yang akan berlaku setelah masa tunggu tiga tahun, menimbulkan kekhawatiran besar bagi kebebasan pers di Indonesia. Dewan Pers Indonesia mencatat bahwa KUHP baru memiliki 17 pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers, termasuk larangan menghina presiden, wakil presiden, lembaga negara, bendera, dan ideologi Pancasila.
"Regulasi ini dapat membatasi kerja jurnalis dan menyensor kebebasan berekspresi," kata Janet Steele, profesor dari George Washington University.
Selain KUHP, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tahun 2008 juga menjadi ancaman. UU ini menetapkan sanksi pidana bagi penyebaran informasi elektronik yang dianggap mengandung pencemaran nama baik, termasuk penistaan agama, meskipun awalnya dimaksudkan untuk mengatur e-commerce. Ketentuan yang kabur dalam UU ini memungkinkan penegakan hukum yang sewenang-wenang terhadap komunikasi elektronik, termasuk di media sosial.
Peraturan Menteri 5 (MR5) tahun 2020 juga memberikan pemerintah wewenang untuk mengatur operator sistem elektronik swasta, termasuk platform seperti Facebook, X, Google, dan TikTok. Regulasi ini memungkinkan akses pemerintah ke data pengguna dan perintah penghapusan konten, yang dapat membatasi kebebasan berekspresi di ranah digital.
Peran Media dalam Menjaga Memori Kolektif
Di tengah dominasi media sosial, media konvensional seperti Tempo dan The Jakarta Post memainkan peran penting dalam mengingatkan publik tentang isu-isu sejarah, termasuk tuduhan pelanggaran HAM oleh tokoh seperti Prabowo Subianto. Hanya sedikit media yang secara konsisten menyoroti masa lalu kandidat, seperti keterlibatannya dalam penghilangan aktivis HAM pada akhir rezim Soeharto.
"Media seperti Tempo tetap menjadi pengingat kritis bagi publik tentang sejarah yang mungkin dilupakan," ungkap Janet Steele.
Namun, kampanye "gemoy" Prabowo menunjukkan bagaimana teknologi, seperti gambar yang dihasilkan AI, dapat digunakan untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu serius. Nicole Curato menyebut fenomena ini sebagai "menghapus sejarah melalui vibes positif dan positivitas toksik". Media tradisional dan online, meskipun masih relevan, harus bersaing dengan narasi yang dibentuk oleh media sosial.
Ke depan, tantangan bagi media Indonesia adalah menyeimbangkan kecepatan dan ketepatan dalam menyampaikan berita di tengah tekanan regulasi dan perubahan perilaku konsumen. Dengan 76% penetrasi internet dan 278 juta penduduk, Indonesia memiliki potensi besar untuk terus mengembangkan ekosistem media yang dinamis, namun juga harus waspada terhadap ancaman terhadap kebebasan berekspresi.
Baca Juga: Simak Citra Prabowo di Media Sosial Setelah 5 Bulan Menjabat
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor