Tren Kumpul Kebo di Indonesia Meningkat di Kalangan Anak Muda, Benarkah Karena Faktor Budaya Semata?

Bagaimanakah trend kumpul kebo di Indonesia sehingga Pemerintah menginisiasi program nikah massal di seluruh Indonesia? Berikut penjelasannya.

Tren Kumpul Kebo di Indonesia Meningkat di Kalangan Anak Muda, Benarkah Karena Faktor Budaya Semata? Ilustrasi Kohabitasi | Toa Heftiba/Unsplash
Ukuran Fon:

Baru-baru ini Kementerian Agama RI menggagas program nikah massal yang salah satu tujuannya untuk menekan angka kumpul kebo di Indonesia. Bagaimanakah tren kumpul kebo khususnya di kalangan anak muda, apa dampaknya dan di wilayah mana saja yang paling banyak melakukan kumpul kebo di bahas secara tuntas di artikel berikut ini. 

Tren Kumpul Kebo di Indonesia Meningkat

Seiring dengan tren menurunnya angka pernikahan juga masih cukup tingginya perceraian di Indonesia, fenomena kumpul kebo atau tinggal bersama tanpa pernikahan resmi (kohabitasi) yang sebelumnya merupakan hal tabu, kini menjadi semakin marak terjadi, terlebih di kalangan pasangan muda.

Dirangkum dari berbagai sumber resmi, fenomena ini dipicu oleh pandangan baru yang menggabungkan eksistensi cinta dan teori kebebasan yang menjadi landasan utama dalam mengambil sebuah keputusan. 

Turut mendukung perspektif ini, profesor demografi dan sains sosial dari Belgia, Ron Lesthaeghe dalam teorinya tentang mengajukan pandangan bahwa pernikahan telah kehilangan statusnya sebagai bentuk persatuan konvensional yang berdasar pada norma dan nilai sosial. Sebagai gantinya, kumpul kebo telah menjadi bentuk baru pembentukan keluarga.

Meskipun di Indonesia tidak diperkenankan, bahkan dapat ditindak secara pidana dengan delik aduan, sebagaimana diatur dalam UU KUHP yang telah disahkan, namun praktik kumpul kebo mulai banyak dijumpai. Sosial media pun menjadi saksi bagaimana tren ini mulai bermunculan di wilayah nasional.

Indonesia Timur Paling Marak Terjadi Kumpul Kebo, Apa Alasannya?

Mengacu pada studi tahun 2021 yang berjudul “The Untold Story of Cohabitation”, terungkap bahwa kumpul kebo lebih umum terjadi di wilayah Indonesia Timur yang mayoritas penduduknya merupakan non-Muslim. 

Sejalan pula dengan dari Pendataan Keluarga 2021 (PK21) milik Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dikutip dari The Conversation, misalnya, menemukan 0,6% penduduk kota Manado, Sulawesi Utara, melakukan kohabitasi.

Peneliti Ahli Muda dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Yulinda Nurul Aini turut mendalami hal ini dengan melakukan penelitian di Manado. Hasil analisisnya mengatakan bahwa dari total populasi pasangan kohabitasi tersebut, 1,9% di antaranya sedang hamil saat survei dilakukan, 24,3% berusia kurang dari 30 tahun, 83,7% berpendidikan SMA atau lebih rendah, 11,6% tidak bekerja, dan 53,5% lainnya bekerja secara informal.

Disebutkan pula ada tiga alasan mengapa pasangan di Manado memilih melakukan kumpul kebo. Mulai dari beban finansial yang ditanggung karena biaya pernikahan cukup mahal. Salah satu responden wawancara menyatakan harus menunggu hingga empat tahun agar pasangannya mampu mengumpulkan mahar sebesar Rp50 juta.

Selain itu adalah karena para pasangan tidak perlu melalui prosedur birokrasi perceraian yang rumit dan mahal ketika memutuskan berpisah. Karena dalam prosesnya, perceraian membutuhkan waktu serta banyak biaya.

Sementara faktor lain adalah adanya penerimaan sosial terhadap pasangan kohabitasi karena dipengaruhi nilai budaya serta faktor ekonomi yang seragam di kalangan masyarakat lokal, menjadikannya lebih toleran. Selain itu, pasangan kohabitasi di Manado memiliki komitmen serius dan tetap berorientasi pada pernikahan. Rata-rata pasangan di Manado menjalani kohabitasi selama 3-5 tahun dan biasanya akan lanjut ke jenjang pernikahan ketika sudah memiliki 2-3 anak.

Apa Dampak Kumpul Kebo?

Meski sudah mulai terdengar lumrah, hubungan tanpa regulasi hukum yang resmi seperti kumpul kebo tentu memiliki dampak negatif dalam praktiknya. Masih mengutip dari analisis Yulinda, perempuan dan anak menjadi pihak yang paling terdampak.

Dalam konteks ekonomi, karena tidak ada peraturan yang mengatur kohabitasi, tidak ada jaminan keamanan finansial bagi anak dan ibu selayaknya dalam hukum terkait perceraian. Sementara Ayah tidak memiliki kewajiban hukum untuk memberikan dukungan finansial dalam bentuk pemberian nafkah (alimentasi). Ketika pasangan kohabitasi berpisah, tidak ada kerangka regulasi yang mengatur pembagian aset dan finansial, alimentasi, hak waris, penentuan hak asuh anak, dan masalah-masalah lainnya.

Sedangkan dari sisi kesehatan, kurangnya komitmen dan kepercayaan antara pasangan, serta ketidakpastian mengenai masa depan, dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi pada pasangan kohabitasi.

Bagaimana Cara Untuk Menekan Angka Kumpul Kebo di Indonesia?

Menanggapi tren kumpul kebo yang terlihat meningkat, Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar mengimbau generasi muda untuk tidak ragu melangsungkan pernikahan secara sah, baik secara agama maupun negara. Ia menyebut kecenderungan untuk menikah di kalangan anak muda kian menurun. Dirinya mengingatkan agar tidak mengikuti tren yang bertentangan dengan nilai keagamaan.

Lebih lanjut, sebagai upaya memulihkan penurunan angka pernikahan di Indonesia, Kementerian Agama RI menggagas program nikah massal yang diperuntukkan bagi masyarakat secara umum dengan menanggung seluruh biaya administrasi, mas kawin hingga make-up, akomodasi hotel juga bimbingan khusus sebelum menikah.

Hal ini dilakukan Menag usai menyoroti realitas sosial bahwa biaya pernikahan menjadi salah satu hambatan bagi pasangan yang hendak menikah. Dan diharapkan program ini akan mampu menekan angka kumpul kebo yang meningkat di Indonesia.

Baca Juga: Nikah Massal akan Digelar di Seluruh Indonesia, Kuota 1.000 Pasangan

Sumber:

https://www.bps.go.id/id/statistics-table/3/VkhwVUszTXJPVmQ2ZFRKamNIZG9RMVo2VEdsbVVUMDkjMw==/nikah-dan-cerai-menurut-provinsi--kejadian---2018.html?year=2024

https://theconversation.com/mengapa-tren-kohabitasi-melanda-indonesia-meski-tak-sesuai-nilai-hukum-dan-agama-223038

https://www.jstor.org/stable/25699059

https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3955803

Penulis: Dilla Agustin Nurul Ashfiya
Editor: Muhammad Sholeh

Konten Terkait

Klasemen Grup A ASEAN U-23 Championship 2025, Indonesia Ada di Puncak

Indonesia memimpin klasemen grup A ASEAN U-23 Championship 2025.

Statistik Pertandingan Indonesia U-23 vs Filipina U-23, Conversion Rate Garuda Muda Masih Rendah

Conversion rate Indonesia U-23 di bawah 20 persen saat lawan Filipina U-23.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook