Terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD TA 2025 menyebabkan pagu anggaran sejumlah kementerian dan lembaga jauh berkurang. Salah satunya juga terjadi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang dalam misi mengupayakan terwujudnya transisi energi.
Berdasarkan hasil Rapat Kerja Komisi XII DPR RI tentang Penetapan Hasil Rekonstruksi Anggaran TA. 2025 pada Rabu (12/2/2025), dua direktorat jenderal (ditjen) yang mengupayakan terwujudnya transisi energi, yaitu Ditjen Ketenagalistrikan dan Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konversi Energi (EBTKE), justru mengalami efisiensi paling besar.
Ditjen Ketenagalistrikan menjadi unit Kementerian ESDM dengan efisiensi yang paling besar, yaitu mencapai Rp355 miliar sehingga pagu anggaran menjadi Rp102 miliar. Sementara itu, Ditjen EBTKE menjadi yang terbesar kedua dengan total efisiensi mencapai Rp318 miliar sehingga total pagu anggaran menjadi Rp248 miliar.
Secara keseluruhan, Kementerian ESDM mengalami efisiensi sebesar Rp1,6 triliun, atau 42,4% dari total pagu anggaran awal yang mencapai Rp3,9 triliun.
Dalam Rapat Kerja, Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyatakan bahwa dalam kondisi efisiensi ini, elektrifikasi di daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) masih akan tetap dilakukan. Selain itu, kegiatan pembangunan 4 unit pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) dan 9 unit pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) juga masih akan tetap dilanjutkan.
Efisiensi Dikhawatirkan Pengaruhi Investasi
Pemotongan anggaran yang terjadi pada Kementerian ESDM dikhawatirkan menghambat tercapainya swasembada energi, yaitu usaha menciptakan energi secara mandiri dari sumber energi terbarukan di tingkat lokal. Anggapan ini disampaikan oleh Putra Adhiguna, Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEFA).
“Kapasitas dan kemampuan untuk mendukung berbagai tugas pengawasan dan perencanaan akan sangat mungkin terpengaruh,” katanya, pada Sabtu (15/2/2025), dikutip dari Kompas.
Putra juga mengkhawatirkan bahwa pemotongan anggaran ini akan berdampak pada investasi. Realisasi investasi tenaga listrik menggunakan energi baru terbarukan (EBT) di Indonesia masih cukup stagnan. Sementara itu, negara-negara lain saling bersaing untuk mendapatkan investasi.
"Perlu kejelasan dan kepastian bahwa pemangkasan anggaran Ditjen Ketenagalistrikan tidak menghambat investasi masuk," tambahnya.
Investasi menjadi faktor penting untuk pengembangan EBT di Indonesia. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, mengatakan bahwa iklim investasi yang ada di Indonesia masih buruk. Hal ini dibuktikan dari ketercapaian investasi di sektor EBTKE yang hanya sebesar US$1,8 miliar dari target semula US$2,6 miliar.
"Struktur industri kelistrikan yang belum kompetitif, kebijakan yang tidak konsisten, serta preferensi terhadap batu bara melalui skema Domestic Market Obligation (DMO) menghambat investasi," katanya, pada Sabtu (15/2/2025), dikutip dari Tempo.
DMO merupakan kebijakan untuk mengendalikan volume batu bara yang digunakan untuk memasok kebutuhan dalam negeri, yaitu sebesar 25% dari volume yang diproduksi. Kebijakan ini ditetapkan secara bersamaan dengan Domestic Price Obligation (DPO), atau pemberlakuan harga tetap sehingga batu bara tidak mengikuti harga dunia. Dua kebijakan ini menyebabkan batu bara dalam negeri menjadi lebih murah sehingga harga listrik dari EBT belum cukup kompetitif.
IESR juga menyayangkan adanya lonjakan produksi batu bara nasional yang mencapai 836 juta ton pada 2024. Produksi ini jauh di atas target yang semula ditetapkan, yaitu sebesar 710 juta ton.
“Meningkatnya produksi batu bara justru menunjukkan melemahnya komitmen transisi energi Indonesia,” ungkapnya.
Di sisi lain, capaian bauran EBT Indonesia masih jauh dibawah target. Bauran EBT yang terealisasi pada 2024 hanya mencapai 14,68%, meningkat sekitar 1,5% dibanding tahun sebelumnya. Jumlah ini masih jauh dibawah target 2024 yang mencapai 19,5%.
Bahkan, saat rapat bersama Komisi XII DPR RI pada (18/02/2025), Dirjen EBTKE menyampaikan adanya revisi target bauran energi tahun 2025, yang semula 23% menjadi 20% saja. Adapun target 23% diperkirakan baru bisa tercapai pada tahun 2030.
“Walaupun target bauran energi terbarukan 23% direncanakan digeser ke 2030, pemerintah harus berupaya sebesarnya untuk meningkatkan bauran energi terbarukan di tahun ini," tegas Fabby melalui pernyataannya pada Senin (17/2/2025).
Danantara Jadi Solusi?
Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) yang akan diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada 24 Februari 2025 dianggap berpotensi dalam mendanai proyek transisi energi dan pengembangan EBT di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
Aset dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang nantinya dikonsolidasikan ke Danantara dianggap dapat dijadikan jaminan untuk pendanaan proyek transisi energi.
"Yang terpenting adalah aset yang dijaminkan ini adalah aset-aset yang di luar dari aset PLTU batu bara," ujarnya pada Senin (17/2/2025) dikutip dari Antara.
Bhima juga mengungkapkan bahwa PLN berpotensi mendapatkan investasi dengan jumlah besar dari dukungan bantuan aset Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya yang nantinya dikelola oleh Danantara.
“Total kan diharapkan US$900 miliar aset Danantara. Jadi, ini adalah kunci yang sangat penting untuk bisa mempercepat masuknya dana-dana dari asing untuk bisnis ataupun untuk proyek-proyek yang berkelanjutan," katanya.
"Jadi, Danantara menjadi ‘super investment vehicle’ atau kendaraan investasi yang sangat penting. Dengan berbagai mekanisme investasinya, diharapkan memang bisa mendorong mempercepat realisasi investasi," tambahnya.
Danantara merupakan badan yang akan mengelola aset-aset BUMN untuk mendapatkan penghasilan tambahan sehingga diharapkan dapat mengurangi ketergantungan pada APBN. Badan ini terbentuk setelah disahkannya revisi ketiga UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN pada (4/2/2025).
Baca Juga: Dominasi Bahan Bakar Fosil: Mengapa Dunia Masih Bergantung pada Sumber Energi Tak Terbarukan?
Penulis: Yazid Taufiqurrahman
Editor: Editor