Sepanjang tahun 2024, pasar tenaga kerja Indonesia mengalami guncangan besar. Kementerian Ketenagakerjaan melaporkan terdapat lebih dari 77 ribu pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang Januari-Desember 2024, jumlahnya naik 20,2% dibandingkan tahun 2023 yang mencapai 64 ribu pekerja. DKI Jakarta menjadi sentra tingginya PHK di Indonesia, dengan lebih dari 17 ribu pekerja kehilangan pekerjaan.
Lonjakan PHK ini terjadi hampir di seluruh industri dan sektor, mulai dari jasa dan perdagangan hingga industri pengolahan. Salah satu kasus PHK yang cukup besar terjadi di industri tekstil, di mana Sritex melakukan PHK terhadap lebih dari 11 ribu karyawannya sejak Agustus 2024 hingga Februari 2025 lalu.
Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan juga mencatat terdapat 26 ribu pekerja yang kena PHK hingga Mei 2025 lalu, dengan Jawa Tengah menjadi provinsi tertingginya, mencapai 10 ribu pekerja, diikut DKI Jakarta (6 ribu) dan Riau (3 ribu). Sementara itu, angka berbeda disajikan oleh BPJS Ketenagakerjaan, yang mencatat sudah ada nyaris 74 ribu jiwa yang kehilangan pekerjaan hingga Maret 2025.
Tak dapat dipungkiri, tekanan ekonomi jadi salah satu alasan tingginya kasus PHK di tanah air. Menurut survei Jobstreet, sebanyak 4% perusahaan di Indonesia berencana untuk mengurangi pegawainya pada Semester I 2025. Survei ini melibatkan 1.273 staf rekrutmen perusahaan berskala kecil, menengah, dan besar di Indonesia, dengan ragam bidang usaha dan industri pada September hingga Oktober 2024.
Survei tersebut mengungkapkan alasan utama perusahaan melakukan pengurangan tenaga kerja, utamanya akibat biaya operasional.
Menurut survei tersebut, 77% perusahaan melakukan PHK guna mengurangi biaya operasional. Gaji karyawan biasanya memakan porsi biaya operasional yang cukup tinggi, sehingga salah satu cara instan untuk menekan pengeluaran adalah dengan mengurangi tenaga kerja, terutama mereka yang kurang produktif dalam pekerjaannya.
Sementara itu, 48% perusahaan terpaksa melakukan PHK akibat perkiraan kondisi ekonomi yang buruk sebagai bentuk antisipasi, 41% perusahaan berniat menerapkan model ketenagakerjaan yang fleksibel, dan 38% perusahaan ingin restrukturisasi karyawan.
Menariknya, 37% perusahaan berencana melakukan PHK karena mau mulai menerapkan otomatisasi pekerjaan, yang mana pekerjaan manusia mulai dialihkan pada teknologi, seperti kecerdasan artifisial (AI). AI baru-baru ini membuat heboh dunia maya dengan teknologinya yang makin canggih, menjadi ancaman baru bagi dunia kerja. Calon pekerja kini tidak hanya harus bersaing dengan calon lainnya, melainkan juga dengan teknologi.
Alasan PHK lainnya meliputi ingin melakukan outsourcing, merger atau akuisisi bisnis, hingga rencana relokasi bisnis ke luar negeri.
Lebih lanjut, survei ini menyatakan bahwa 51% perusahaan tidak berencana menambah tenaga kerja dan memilih mempertahankan karyawan yang saat ini ada pada Semester I 2025.
Baca Juga: Pemanfaatan Jaminan Kehilangan Pekerjaan Masih Minim, Apa Sebabnya?
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor