Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, Indonesia telah menjadi model kebebasan pers regional. Peraturan baru ini, ditambah dengan peningkatan kebijakan sosial yang konservatif, mencerminkan perubahan opini publik yang dikhawatirkan banyak orang dapat menunjukkan kecenderungan kembali ke arah otoritarianisme.
Namun, lingkungan media di Indonesia tetap beragam, dengan media independen yang menyampaikan pandangan yang beragam. Media arus utama perlu menjaga unsur kelengkapan informasi dan menjadikan hal itu sebagai keunggulan dibandingkan dengan media sosial.
Sejak satu dekade terakhir, industri pers arus utama menghadapi tantangan yang dipicu oleh hadirnya disrupsi digital. WhatsApp, YouTube, Facebook, dan Instagram sangat populer di kalangan pengguna di Indonesia, dan antara sepertiga hingga separuh masyarakat Indonesia melaporkan bahwa mereka mendapatkan berita dari platform-platform ini. Karena popularitas ini, banyak perhatian diarahkan pada peran media sosial dalam menyebarkan disinformasi, propaganda politik, ‘hoax’, dan ujaran kebencian.
Pergeseran media konvensional ke media digital
Buruknya, media konvensional di Indonesia terus menderita kehilangan pendapatan iklan. Dalam laporan UNESCO (2022), distribusi iklan di media cetak secara global turun dari 22,9 persen pada 2010 menjadi 5,7 persen tahun 2021.
Tak dapat dimungkiri, munculnya hoaks dan disinformasi turut berperan dalam memunculkan ketidakpercayaan publik terhadap media massa. Berbagai informasi yang tersebar di media sosial juga membawa tsunami informasi bagi publik. Tak heran saat ini masyarakat global pun mengalami fenomena menghindari pemberitaan (news avoidance) dan kelelahan terhadap berita (news fatigue).
Berdasarkan laporan survei Reuters Institute terbaru bertajuk Digital News Report 2023, Kompas menempati posisi puncak media paling percaya di Indonesia, sedangkan CNN di urutan kedua.
Tercatat, pada tahun ini Kompas meraih kepercayaan dari 69 persen responden. Kemudian, ada CNN dipercaya oleh 68 persen responden, TVRI (66 persen), SCTV Liputan6 (64 persen), Detik.com (63 persen), Tempo dan TVOne (masing-masing 60 persen).
Sedangkan Kompas juga paling unggul di daftar merek media televisi, radio, dan cetak yang paling dipercaya di Indonesia tahun ini. Sebanyak 46 persen menjadikan Kompas sebagai media yang sering mereka akses untuk mendapatkan informasi ataupun berita. TVOne menempati posisi kedua dengan 45 persen, kemudian Metro TV dengan 40 persen.
Untuk media online sendiri, 61 persen lebih memilih untuk mengakses Detik.com dalam kesehariannya. Setelahnya yakni media kompas online dengan persentase mencapai 45 persen dan CNN.com dengan 34 persen.
Media online dan sosial tetap menjadi sumber berita paling populer di Indonesia dengan sampel masyarakat perkotaan, namun TV dan radio tetap penting bagi jutaan orang yang tidak online.
Berita tetap menjadi kepercayaan publik
Kepercayaan masyarakat terhadap berita secara keseluruhan tetap stabil berada di angka 39 persen selama tiga tahun berturut-turut. Lima media yang paling tepercaya yakni Kompas, CNN, TVRI, Liputan6, dan Detik.com dengan persentase Kompas (69%) menyisihkan CNN (68%) sebagai merek paling tepercaya untuk pertama kalinya. sejak Laporan Berita Digital mulai melacak pada tahun 2021.
Tak hanya media konvensional ataupun online yang menjadi sumber terpercaya dari sebuah informasi atau berita. Media sosial nyatanya memiliki posisi yang kuat atas berbagai informasi. Misalnya saja WhatsApp, dalam hal pemberitaan WhatsApp dianggap menjadi media sosial yang banyak diakses publik dengan persentase mencapai 51 persen.
Dibawahnya terdapat YouTube dengan persentase 48 persen, Facebook dengan 38 persen, Instagram dengan 37 persen, TikTok dengan 22 persen, dan Twitter dengan 21 persen.
Berdasarkan jenis medianya, mayoritas atau 84% responden Tanah Air memilih media online sebagai sumber berita utama. Lalu, sumber berita paling disukai berikutnya adalah media sosial (65%), televisi (54%), sedangkan media cetak paling rendah (15%).
Penulis: Adel Andila Putri
Editor: Iip M Aditiya