Merujuk pada Publikasi Statistik Mobilitas Penduduk dan Tenaga Kerja 2024 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat bahwa pada tahun 2023 sektor pertanian membukukan angka tertinggi pekerja yang pernah berhenti bekerja dibandingkan sektor lainnya, yaitu sebesar 32,2%.
Angka ini jauh melampaui sektor industri pengolahan (15,1%), perdagangan (13,8%), konstruksi (11,4%), serta akomodasi dan makan minum (7,4%). Fenomena ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.
Penyebab Tingginya Angka Berhenti Kerja di Sektor Pertanian
Pekerjaan di sektor pertanian sering kali bersifat musiman, di mana tenaga kerja hanya dibutuhkan pada waktu tertentu, seperti musim tanam atau panen. Ketika masa panen selesai, banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan tetap, sehingga memutuskan untuk mencari peluang kerja di sektor lain yang lebih stabil.
Selain itu, sektor pertanian kerap diidentikkan dengan upah rendah dan kesejahteraan yang kurang memadai. Berdasarkan data laporan Rata-Rata Upah/Gaji (Rupiah), 2024 dari BPS, sektor pertanian mencatat rata-rata upah/gaji sebesar Rp 2.407.712 pada Agustus 2024. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan sektor lainnya, sehingga banyak pekerja lebih memilih beralih ke sektor lain yang menawarkan pendapatan yang lebih stabil dan kesejahteraan yang lebih baik.
Modernisasi teknologi pertanian turut memengaruhi pergeseran ini. Dengan adanya inovasi yang mengurangi kebutuhan tenaga kerja manual, ditambah dengan urbanisasi yang mendorong migrasi penduduk dari desa ke kota, banyak pekerja pertanian memilih untuk pindah ke sektor perdagangan, konstruksi, atau industri lain yang berkembang di perkotaan.
Terlebih lagi, akses pendidikan dan pelatihan bagi pekerja sektor pertanian masih sangat terbatas. Minimnya keterampilan dan pendidikan membuat mereka kesulitan beradaptasi dengan perubahan dalam industri, sehingga mereka lebih rentan meninggalkan pekerjaan di sektor ini.
Dampak terhadap Ekonomi
Tingginya angka pekerja yang berhenti di sektor pertanian berdampak signifikan pada ekonomi. Salah satunya adalah penurunan produktivitas pangan akibat berkurangnya tenaga kerja, terutama di Indonesia sebagai negara yang masih bergantung pada sektor ini sebagai tulang punggung ekonomi.
Di sisi lain, migrasi pekerja ke sektor lain seperti listrik-gas, perdagangan, dan konstruksi mendorong pertumbuhan di sektor tersebut, namun memunculkan tantangan baru terkait persaingan kerja dan kapasitas penyerapan tenaga kerja. Pergeseran ini mencerminkan adanya transformasi struktural ekonomi dari sektor primer (pertanian) menuju sektor sekunder dan tersier (industri dan jasa).
Upaya Mengatasi Tantangan di Sektor Pertanian
Untuk mengatasi tantangan tingginya angka berhenti kerja di sektor pertanian, berbagai langkah strategis perlu diambil. Peningkatan kesejahteraan petani menjadi prioritas utama dengan memberikan insentif berupa subsidi, perbaikan upah, dan jaminan kesejahteraan yang lebih baik bagi pekerja di sektor ini. Selain itu, modernisasi pertanian melalui integrasi teknologi canggih dapat meningkatkan produktivitas dan menjadikan sektor pertanian lebih menarik bagi tenaga kerja muda.
Akses terhadap pendidikan dan pelatihan keterampilan baru juga perlu diperluas agar para pekerja lebih siap menghadapi perkembangan zaman dan mampu beradaptasi dengan perubahan teknologi. Terakhir, diversifikasi pekerjaan di pedesaan harus didorong dengan menciptakan peluang kerja alternatif, sehingga tenaga kerja tidak perlu bermigrasi ke kota demi mencari penghidupan yang lebih baik.
Baca Juga: Benarkah Kebiasaan Pilih-Pilih Kerjaan Jadi Penyumbang Pengangguran Kalangan Gen Z?
Penulis: Habib Muhammad Raihan
Editor: Editor