Wacana pemberian gelar pahlawan nasional pada Presiden Kedua Republik Indonesia, Soeharto tengah menjadi perbincangan hangat publik setelah Kementerian Sosial secara resmi mengusulkan nama mantan Presiden RI tersebut kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) pada Oktober 2025.
Hal ini memantik ragam sorotan publik. Sebagian menilai bahwa Soeharto layak menyandang gelar pahlawan nasional karena jasa dan kontribusinya membangun negeri selama 32 tahun. Namun di sisi lain, publik turut menilai bahwa usulan tersebut berbenturan dengan catatan sejarah terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi pada masa pemerintahan Soeharto (Orde Baru) dan amanat Reformasi 1998.
Sentimen di Media Media Massa
Sentimen di media online didominasi sentimen positif dengan persentase 64%. Sentimen positif didorong oleh narasi bahwa Soeharto telah berjasa dalam membangun ekonomi rakyat, menjaga ketahanan pangan, dan mempertahankan stabilitas nasional 32 tahun pemerintahannya. Sentimen positif turut diisi oleh narasi dukungan dari petinggi ormas keagamaan, seperti Muhammadiyah, PUI, dan NU. Selain itu, Soeharto dinilai telah memenuhi syarat untuk dicalonkan dan menerima gelar sebagai pahlawan nasional.
Di sisi lain, terdapat 29% sentimen negatif di media massa. Sentimen negatif banyak menyoroti persoalan potensi penghapusan jejak pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa Orde Baru. Soeharto juga dinilai tidak layak menyandang gelar pahlawan nasional karena meninggalkan warisan korupsi sistemik dan KKN.
Di media massa, sentimen positif cenderung mendominasi perbincangan, disebabkan oleh dominasi pemberitaan prosedural dan dukungan dari elit atau institusi negara, seperti lembaga pemerintah, partai politik, hingga ormas.
Sentimen di Media Sosial
Berbeda dengan di media massa, media sosial didominasi oleh sentimen negatif terhadap usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto. Terdapat 63% sentimen bernada negatif, 27% bernada positif, dan 11% sisanya bernuansa netral. Media sosial menjadi basis perlawanan publik yang digerakan oleh aktivis dan narasi kritik terhadap usulan tersebut.
Media Sosial Twitter/X
Pada media sosial Twitter atau X, percakapan didominasi sentimen negatif dengan 63%. Publik menilai bahwa usulan tersebut tidak layak disandangkan pada Soeharto karena dinilai sebagai simbol KKN dan telah menggadaikan kekayaan alam Indonesia.
Soeharto juga dipandang sebagai dalang dari kerusuhan pada tahun 1965 yang berujung pada pembantaian orang-orang yang dicap PKI tanpa proses peradilan.
Apabila wacana ini terus dilanjutkan dan Soeharto memperoleh gelar pahlawan nasional, maka aktivis '98 kini dicap sebagai penjahat.
Media Sosial Instagram dan Facebook
Sentimen publik di Instagram dan Facebook berbeda dengan yang terjadi di Twitter. Di Facebook dan Instagram, sentimen didominasi percakapan positif yang mendukung usulan gelar pahlawan kepada Presiden Soeharto.
Di Facebook, terdapat 80% sentimen positif yang menilai Soeharto sebagai tokoh penting dalam sejarah modern Indonesia. Soeharto pun dinilai berhasil menjaga stabilitas ekonomi dan pangan. Sementara itu, hanya ada 9% sentimen negatif yang memandang bahwa Soeharto seorang pelanggar HAM berat selama memimpin dan disimbolkan menjadi tokoh KKN yang merugikan negara.
Hal serupa terjadi di Instagram. Sentimen positif mendominasi percakapan dengan persentase 56%. Publik beranggapan bahwa Soeharto layak menyandang gelar pahlawan nasional karena telah berjasa membangun ekonomi, infrastruktur, dan mencapai swasembada pangan.
Hanya ada 29% sentimen yang bersifat negatif. Sentimen negatif didominasi oleh narasi yang menganggap bahwa Soeharto tidak layak menyandang gelar pahlawan karena tercatat sebagai tokoh pelanggar HAM berat.
Adapun sentimen positif terhadap usulan ini terjadi juga mendominasi media sosial lainnya, seperti Youtube (62%) dan Tiktok (77%).
Usulan Banyak Didukung Barisan Pemerintah
Tokoh-tokoh pemerintahan, partai politik, dan organisasi masyarakat banyak yang mendukung usulan pemberian gelar pahlawan nasional Soeharto. Mulai dari Presiden Prabowo, Presiden Ketujuh RI Jokowi, Menteri Kebudayaan Fadli Zon, hingga dosen di perguruan tinggi.
Sementara itu, sikap menolak usulan tersebut banyak dilayangkan dari berbagai elemen masyarakat, seperti Mustasyar PBNU, Gus Mus yang menolak usulan tersebut karena merasa perlakuan Soeharto yang tidak adil terhadap ulama pesantren dan warga NU selama menjabat.
Banyak pula penolakan disuarakan oleh pakar, guru besar, dan aktivis seperti Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti yang menilai bahwa gelar pahlawan menjadi alarm bahaya bagi arah demokrasi dan sistem ketatanegaraan.
Tren Sentimen
Sentimen positif sendiri mulai mencuat pada 24-27 Oktober. Hal ini dipicu oleh narasi bahwa masa pemerintahan Presiden Soeharto dipenuhi dengan stabilitas politik, ekonomi, dan ketahanan pangan yang turut disebarkan oleh tokoh-tokoh politik. Kemudian pada tanggal 6 November, narasi positif memuncak disebabkan oleh dukungan besar dari PBNU dan Muhammadiyah, serta mantan Presiden Jokowi.
Sementara itu, sentimen negatif mencuat pada 28 Oktober-6 November. Narasi ini memuncak pada tanggal 6 November sebagai reaksi perlawanan yang dilakukan oleh koalisi masyarakat sipil dan para aktivis yang merespons dukungan formal dan narasi penolakan terhadap "pemutihan sejarah" pelanggaran HAM.
Adapun riset ini dilakukan dengan menganalisis sentimen publik yang ada di berbagai media, seperti Twitter (X), FB, Instagram, Youtube, Tiktok, hingga media online pada 20 Oktober-7 November 2025. Objek yang menjadi bahan kajian adalah isu pemeberian gelar pahlawan nasional Soeharto dengan menggunakan kata kunci seperti, Soeharto, Suharto, SoehartoBukanPahlawan dan Soehartopahlawan.
Baca Juga: Nasional Soeharto Kembali Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional dengan 9 Tokoh Lain di 2025
Sumber:
https://x.com/DroneEmpritOffc/status/1986768054836220039
Penulis: MUSYAFFA AKMAL
Editor: Editor