Sampah Pakaian Makin Banyak, Saatnya Sudahi Konsumsi Fast Fashion

Masyarakat membuang pakaian, setidaknya setahun setelah membeli. Bahkan, tiga dari sepuluh orang membuang pakaian setelah sekali pakai.

Sampah Pakaian Makin Banyak, Saatnya Sudahi Konsumsi Fast Fashion Sampah pakaian di Gurun Atacama, Chile / National Geographic

Berbagai tren fashion silih berganti hadir di tengah masyarakat. Adanya media sosial menyebabkan persebaran mode-mode baru pakaian berlangsung secara cepat. Akibatnya, masyarakat melakukan belanja pakaian secara masif untuk dapat memenuhi hasrat mengikuti tren.

Dengan adanya kemudahan teknologi yang memungkinkan masyarakat dapat berbelanja secara cepat dan mudah, industri di dunia menawarkan produk fast fashion yang dapat menyediakan banyaknya permintaan dengan harga yang relatif murah.

Indikator Politik Indonesia membuat sebuah survei mengenai akses media dan perilaku digital yang melibatkan 733 responden. Hasilnya, 65,7% responden mengaku pakaian atau fashion menjadi jenis barang yang paling sering dibeli saat berbelanja online.

Kebebasan dan masifnya tren fashion, khususnya di Indonesia menciptakan ruang terbuka bagi seseorang untuk mengekspresikan gaya berpakaian dengan cara unik. Akibatnya, muncul fenomena berbelanja pakaian bekas dengan harga murah atau thrifting untuk mendapat model fashion yang berbeda.

Dilansir dari data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), volume impor pakaian bekas di Indonesia mengalami angka yang fluktuatif. Jumlah impor pakaian bekas tertinggi selama 5 tahun terakhir berada di tahun 2019 dengan volume mencapai 392 ton. Angka tersebut mengalami penurunan yang cukup drastis pada 2021 dan 2022 dengan volume impor masing-masing 8 ton dan 26,2 ton.

Fenomena impor pakaian bekas menjadi perhatian serius dari pemerintah. Kegiatan impor pakaian bekas ini dinilai dapat merugikan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) bidang fashion yang ada di Indonesia.

Menyikapi hal itu, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 40 Tahun 2022 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor. Dalam aturan tersebut, berbagai jenis pakaian bekas atau barang bekas dilarang untuk diimpor.

Selain faktor tersebut, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengungkapkan, pakaian bekas yang masuk di Indonesia tidak sepenuhnya layak pakai. Bahkan, persentase pakaian yang tidak layak pakai mencapai 70% dibandingkan pakaian yang dapat digunakan.

Akibatnya, pakaian-pakaian yang tidak layak berpotensi menjadi penyumbang sampah pakaian di Indonesia.

“Jangan sampai nanti baju-baju bekas yang diimpor, yang mungkin bisa dipakai hanya 30-40%, sisanya itu akan berakhir di Bantar Gebang. Jangan jadikan Indonesia menjadi tempat recycle, jangan jadikan Indonesia menjadi tempat sampah,” ujarnya, dikutip dari CNBC Indonesia.

Masyarakat Membuang Pakaian, Setidaknya Setahun Setelah Membeli

Sampah menjadi masalah yang tak kunjung usai bahkan di tingkat dunia. Seluruh negara berupaya untuk mengatasi volume sampah yang kian menunjukkan kenaikan. Tidak hanya sampah plastik, kini sampah pakaian juga turut menyumbang angka volume sampah di dunia.

Dikutip dari Fibre2Fashion, pada tahun 2020, sekitar 18,6 juta ton limbah tekstil dibuang di tempat pembuangan akhir. Selain itu, rata-rata konsumen juga membuang 60% pakaiannya, setahun setelah membeli. 

Artinya, tren mengikuti mode fashion yang berkembang di masyarakat hanya bertahan setidaknya satu tahun. Mode fashion akan terus berubah dan meninggalkan tren-tren yang sudah berlalu.

The Sustainable Fashion Forum mengungkapkan, konsumsi pakaian dunia diperkirakan akan terus meningkat hingga 63% pada 2030, dari 62 juta ton menjadi 102 juta ton. Akibatnya, limbah tekstil di seluruh dunia diperkirakan akan mencapai 300 juta ton pada 2050.

Fenomena konsumsi pakaian di Indonesia juga menunjukkan tren yang relatif sama. YouGov mencatat, 66% masyarakat dewasa di Indonesia membuang sedikitnya satu pakaian mereka dalam setahun. Bahkan, tiga dari 10 orang Indonesia pernah membuang pakaian setelah hanya memakainya sekali.

Dari data yang dikeluarkan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) menunjukkan, sampah kain menyumbang 2,5% dari total volume sampah. Meski persentase relatif kecil, tindakan pembuangan pakaian diprediksi akan semakin marak dan meningkatkan angka sampah pakaian.

Lebih lanjut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2021 melalui SIPSN mengungkapkan, Indonesia menghasilkan 2,3 juta ton limbah pakaian atau setara dengan 12% dari limbah rumah tangga.

Dari keseluruhan limbah pakaian tersebut, hanya 0,3 juta ton limbah pakaian yang didaur ulang.

Sampah pakaian tidak hanya menjadi tanggung jawab konsumen selaku pengguna, tetapi juga industri tekstil yang perlu untuk melakukan manajemen sampah. National Geographic bahkan menyebut, industri fashion diperkirakan bertanggung jawab atas sekitar 20% pencemaran air bersih dan 10% emisi karbon secara global.

Di Indonesia, sebanyak 70% persen bagian tengah Sungai Citarum ditemukan telah tercemar mikro plastik, berupa serat benang polyester yang berasal dari industri tekstil. Fakta ini berhasil ditemukan Pusat Riset Oseanografi Institut Pertanian Bogor (IPB).

Oleh karena itu, pemerintah, masyarakat dan produsen garmen perlu  bersinergi dan berkomitmen untuk mengurangi tren fast fashion agar volume sampah pakaian dapat ditekan.

Penulis: Aslamatur Rizqiyah
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Simak Pertimbangan Anak Muda dalam Memilih Calon Gubernur 2024

Survei mengungkap 83,4% anak muda akan menggunakan hak pilihnya pada Pilkada 2024.

Simak Kepuasan Pelanggan Transportasi Online di Pulau Jawa

99,5% responden puas terhadap layanan transportasi online di Pulau Jawa.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook