Sampah makanan dapat diartikan sebagai makanan yang seharusnya masih bisa dikonsumsi (layak dan/atau aman), tetapi malah terbuang atau tak termakan. Timbunan sampah makanan terjadi secara berkelanjutan dan meningkat tiap tahunnya, seiring bertambahnya penduduk. Hal ini tentunya dapat berakibat buruk terhadap lingkungan, termasuk perubahan iklim.
Permasalahan sampah, khsusnya sampah makanan sudah menjadi isu klasik di Indonesia. Bahkan, volumenya selalu menaik tiap tahun. Dalam Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia 2021 yang dirilis oleh Kementerian PPN/Bappenas dengan Waste4Change dan World Resource Institute, Indonesia dilaporkan telah menghasilkan sampah makanan sebanyak 23-48 juta ton per tahun selama periode 2000-2019. Estimasi tersebut setara dengan 115–184 kg/kapita per tahun.
Adapun, jumlah tersebut merupakan kombinasi dari makanan yang terbuang di tahap produksi (food loss), pascapanen dan penyimpanan, pemrosesan dan pengemasan, tahap distribusi/pemasaran dan tahap konsumsi (food waste).
“Tren kontribusi food loss selama 20 tahun cenderung menurun, dari 61% pada tahun 2000 ke 45% pada 2019. Sementara, persentase timbulan food waste cenderung meningkat, dari 39% pada 2000 ke 55% pada 2019,” tulis Bappenas dalam laporannya.
Jika dilihat berdasarkan proporsinya, mayoritas sampah makanan di Indonesia berupa padi-padian sepanjang periode 2000-2019. Bappenas mencatat, kelompok padi-padian yang meliputi padi, gandum, jagung, serta produk turunannya termasuk beras, gabah, dan lain-lain telah menyumbang proporsi 44% dari total sampah nasional.
“Komoditas padi-padian berkontribusi paling besar yaitu 44,3% atau sekitar 12-21 juta ton FLW (food loss and waste) per tahunnya,” ungkap Bappenas.
Menyusul padi-padian, komoditas buah-buahan berada di posisi kedua dengan proporsi mencapai 20%. Selanjutnya, ada sayur-sayuran, ikan, dan makanan berpati dengan proporsi masing-masing sebesar 16%, 9%, dan 3% selama periode tahun 2000-2019.
Bappenas menjelaskan, timbulan sampah makanan kategori food loss seringkali terjadi akibat tak terpenuhinya standar kualitas pangan seperti yang ditetapkan, seperti standar warna, bentuk, berat, dan lain-lain. Padahal, bahan pangan ini biasanya masih layak dikonsumsi masyarakat.
“Produk yang tidak memenuhi standar estetika namun masih bernutrisi baik biasanya disebut ugly food. Meskipun tak memenuhi standar, biasanya bahan pangan ini masih layak konsumsi. Beberapa contoh produk ugly food yaitu telur ayam yang retak, cabai yang terlalu matang, atau tomat yang terlalu kecil,” papar Bappenas dalam laporannya.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya