Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengeluarkan regulasi untuk mendukung penerapan Kurikulum Merdeka. Kurikulum baru ini menjadi upaya pemerintah menghadapi tantangan pendidikan seiring berkembangnya zaman.
Melalui Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 12 Tahun 2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah, Kurikulum Merdeka telah berpayung hukum. Sebelumnya, kurikulum ini telah dikembangkan pada 2020 dan diterapkan bertahap sejak 2021.
“Semoga Permendikbudristek ini memberi kepastian arah kebijakan tentang kurikulum dan pembelajaran bagi seluruh masyarakat, khususnya para pendidik, kepala satuan pendidikan, dan dinas pendidikan,” jelas Mendikbudristek, Nadiem Makarim.
Kemendikbudristek menyebut, kurikulum ini akan memudahkan guru untuk melakukan pembelajaran dengan menyesuaikan kebutuhan murid. Konten wajib bagi guru telah berkurang dan memberi ruang bagi guru agar dapat memperhatikan proses belajar murid.
Selain itu, guru juga dapat mengimplementasikan asesmen normatif, penyesuaian materi, penyesuaian kecepatan mengajar, dan menggunakan metode pembelajaran yang mendalam. Fleksibilitas ini juga berlaku bagi sekolah, sehingga sekolah dapat menyusun kurikulum satuan pendidikan sesuai karakteristik dan lingkungannya.
“Dengan struktur yang fleksibel, Kurikulum Merdeka bisa diterjemahkan oleh sekolah yang minim fasilitas di daerah terpencil, menjadi kurikulum yang betul-betul sesuai dengan kondisinya,” tutur Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, Anindito Aditomo.
Berdasarkan Statistik Pendidikan 2023, ada 0,11% siswa SD/sederajat, 0,98% siswa SMP/sederajat, dan 1,03% siswa SM/sederajat yang putus sekolah. Beberapa alasannya adalah ketidakmampuan siswa menyelesaikan pelajaran, keterbatasan biaya, sakit parah, terpaksa bekerja, membantu orang tua berladang, dan dikeluarkan dari sekolah.
Sementara itu, tingkat penyelesaian pendidikan untuk SD dan SMP telah melampaui 90%. Akan tetapi, tingkat penyelesaian pendidikan untuk SM/sederajat masih dibawah 70%.
Tingkat penyelesaian pendidikan ini diukur menggunakan rentang usia. Usia tingkat penyelesaian pendidikan SD/sederajat adalah 13-15 tahun, untuk SMP/sederajat adalah 16-18 tahun, dan untuk SM/sederajat adalah 19-21 tahun. Dari 66,79% tingkat penyelesaian pendidikan SM/sederajat, artinya ada 66 dari 100 orang berusia 19-21 tahun yang telah lulus tingkat pendidikan tersebut.
Di kota maupun di desa, tingkat penyelesaian pendidikan SD/sederajat sudah lebih dari 95%. Kondisi berbeda terjadi di jenjang SMP/sederajat, dimana area kota mencapai 92,85%, namun di desa baru mencapai 87,01%.
Sementara, tingkat penyelesaian pendidikan jenjang SM/sederajat juga cukup berbeda antara area kota dan desa. Sebanyak 73,25% anak di perkotaan telah lulus SM/sederajat, namun baru ada 56,38% anak di pedesaan dengan kondisi serupa.
Situasi perekonomian keluarga menjadi salah satu faktor perbedaan tingkat penyelesaian pendidikan, terlihat dari angkanya yang berbeda-beda di tiap kuintil pengeluaran. Wilayah tempat tinggal juga berpengaruh pada tingkat penyelesaian pendidikan ini.
Provinsi Papua selalu mendapat persentase tingkat penyelesaian pendidikan paling rendah untuk seluruh jenjang pendidikan. Pada jenjang SD/sederajat, Jawa Barat memimpin dengan tingkat penyelesaian pendidikan 99,09%, sementara di Papua baru 80,09%.
Kemudian, jenjang SMP/sederajat, DIY teratas dengan 97,02%, namun Papua baru mencapai 67,12%. DIY juga memimpin untuk jenjang SM/sederajat dengan 89,69%, sementara di Papua baru 39,50%.
Pemerintah menyebut pembangunan pendidikan bertujuan untuk menjamin kualitas pendidikan yang bersifat inklusif, merata, dan kesempatan belajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, pendidikan harus menyentuh semua golongan masyarakat, tanpa hambatan ekonomi, sosial, geografi, atau apapun.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Iip M Aditiya