Diskriminasi berbasis gender kerap terjadi di lingkungan kerja, tak terkecuali di bidang jurnalistik. Menurut riset Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bersama Pemantau Regulasi Regulator Media (PR2Media) tahun 2022, sekitar 27 persen dari total responden jurnalis perempuan dalam riset tersebut pernah mengalami diskriminasi berbasis gender di lingkungan kerjanya.
Diskriminasi yang dialami jurnalis perempuan tersebut terdiri dari beberapa macam aspek, mulai dari segi tugas, jabatan, penghasilan, hingga diskriminasi haknya sebagai pekerja. AJI mengumpulkan data dengan melakukan Focus Group Disscussion (FGD) secara daring, dan diikuti oleh 402 jurnalis perempuan dari 34 provinsi.
Dari semua responden dalam FGD, 27 persen responden pernah mengalami diskriminasi berbasis gender di lingkungan kerjanya. Meski hanya seperempat, tetapi angka ini tetap mengkhawatirkan karena membuktikan masih banyak diskriminasi berbasis gender di lingkup jurnalistik.
Bentuk Diskriminasi dalam Dunia Jurnalistik
Sebanyak 30 persen responden mengalami diskriminasi saat mendapat tugas liputan. Dalam FGD, salah seorang jurnalis menceritakan bahwa beliau kerap kali diberi tugas tambahan, sedangkan dua rekannya yang merupakan laki-laki tidak diberi tugas tambahan yang sama. Sayangnya, dia tidak mendapat uang tambahan dari tugas tambahan tersebut.
Jurnalis yang lain juga ada yang mengatakan bahwa banyak oknum narasumber yang ingin ditemani oleh jurnalis perempuan. Jurnalis perempuan dianggap sebagai ‘umpan’ untuk narasumber. Dari cerita ini, jurnalis perempuan rentan menjadi sasaran objektifikasi di lingkungan kerjanya.
25 persen responden mengalami hambatan dalam mendapat promosi jabatan. Budaya patriarki yang sangat kental di Indonesia menjadi faktor sulitnya perempuan mendapatkan kesempatan yang sama untuk dipromosikan.
Jurnalis perempuan juga mendapat kesenjangan dari segi pendapatan. 17 persen responden mengungkapkan bahwa mereka mendapat upah lebih rendah dibanding jurnalis laki-laki. Berdasarkan pengalaman salah satu peserta FGD, hal itu terjadi karena anggapan bahwa jam liputan laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Tak hanya gaji, 58 persen responden juga tidak dapat mengakses asuransi kesehatan untuk keluarganya. Sedangkan untuk laki-laki, mereka otomatis mendapat asuransi untuk istri dan maksimal tiga anak. Terdapat pula perbedaan akses kesehatan reproduksi antara perempuan yang sudah menikah dan yang belum.
14 persen responden mengaku khawatir terkena PHK dari perusahaannya. Hal ini didukung dengan data dari CNN Indonesia (2020) bahwa jurnalis perempuan lebih rawan terkena PHK dibanding jurnalis laki-laki saat pandemi Covid-19.
Salah seorang peserta FGD menceritakan bahwa jurnalis perempuan, terutama yang sudah menikah, lebih sering menjadi target PHK karena anggapan bahwa mereka adalah beban perusahaan. Jurnalis perempuan memiliki lebih banyak cuti serta tanggungan asuransi. Selain itu, perempuan juga dianggap bukan pencari nafkah utama.
Kendala terbanyak yang dialami oleh jurnalis perempuan adalah terkait dengan cuit haid/menstruasi, yaitu sebanyak 68 persen. Peserta FGD menggambarkan kondisi ketika mengambil cuti haid, dikhawatirkan akan dianggap tidak produktif, hingga terancam dirumahkan. Terkadang ketika mengambil cuti haid pun akan dikomentari negatif oleh atasan, meski atasannya juga perempuan.
Hak cuti melahirkan pun tidak didapatkan oleh 12 persen responden. Hak cuti melahirkan sendiri diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003, yaitu sebanyak 1,5 bulan sebelum HPL, dan 1,5 bulan setelah HPL.
Dalam rapat redaksi pun, peserta FGD mengaku bahwa ruang redaksi mereka tidak mengakomodir ide terkait liputan (15% responden) serta terkait kebijakan perusahaan (11% responden) dari jurnalis perempuan.
Jurnalis Perempuan Rentan Mengalami Kekerasan Seksual
Tak hanya mengalami diskriminasi dalam hal perbedaan akses, jurnalis perempuan juga rentan mengalami kekerasan seksual saat bekerja. Menurut laporan dari AJI, pada tahun 2022, 82,6 persen jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual selama mereka bekerja.
Kekerasan seksual dialami jurnalis perempuan baik secara langsung maupun daring. Mayoritas jurnalis perempuan mengalami pelecehan lewat body shaming secara langsung, yaitu sebanyak 58,9 persen jurnalis perempuan. 48,6 persen jurnalis perempuan pernah mendapat body shaming secara daring.
51,4 persen jurnalis perempuan pernah mendapat catcalling secara langsung, 37,2 persen jurnalis perempuan pernah menerima pesan seksual. 36,3 persen jurnalis perempuan juga pernah disentuh fisiknya secara seksual.
Bentuk kekerasan lain yang dialami oleh jurnalis perempuan adalah dikomentari seksual baik secara langsung maupun daring, diperlihatkan pesan seksual, serta dipaksa untuk menyentuh atau berhubungan seksual.
Pentingnya Membangun Ruang Aman Bagi Jurnalis Perempuan
Melihat situasi jurnalis perempuan saat ini, penting bagi Dewan Pers serta asosiasi jurnalis untuk membuat regulasi terkait kekerasan terhadap perempuan di dunia jurnalistik. Menurut PR2Media, ruang aman tersebut terdiri dari kesadaran, sistem dukungan, dan ketersediaan infrastruktur yang menjamin keamanan mereka dari berbagai tindak kekerasan.
Belum ada regulasi khusus yang mengatur terkait kekerasan terhadap jurnalis perempuan di Indonesia. Peraturan terkait kekerasan terhadap jurnalis masih bersifat umum, seperti Peraturan Dewan Pers Tahun 2013 tentang Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Wartawan.
Karena itu, penting sekali untuk membuat peraturan yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap jurnalis perempuan, mengingat kekerasan yang dialami bersifat struktural.
Penulis: Kristina Jessica
Editor: Iip M Aditiya