Praktik penggunaan hewan sebagai bahan percobaan atau animal testing tampaknya masih menjadi topik perdebatan yang panjang. Tak sedikit masyarakat di berbagai belahan dunia yang turut menuntut dan menentang penggunaan hewan sebagai bahan percobaan, khususnya para aktivis hewan.
Meski demikian, praktik animal testing nyatanya masih dilakukan secara besar-besaran di berbagai negara. Lebih dari 100 juta hewan, seperti kelinci, tikus, anjing, katak, hingga monyet dibunuh di laboratorium untuk penelitian ilmiah dan alasan eksperimental lainnya.
Data dari Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA) memaparkan 5 negara dengan penggunaan hewan untuk bahan percobaan terbanyak di dunia.
Dapat dilihat bahwa Amerika Serikat menduduki posisi pertama sebagai negara pengguna hewan untuk bahan percobaan terbanyak dengan jumlah mencapai 20 juta hewan pada tahun 2020. Diikuti oleh Cina pada posisi kedua dengan jumlah 16 juta hewan dan Jepang di posisi ketiga dengan jumlah 11 juta hewan.
Tak sedikit aktivis hewan di seluruh dunia yang secara terus-menerus mendesak pemberhentian penggunaan hewan sebagai alat laboratorium dalam praktik animal testing yang juga dinilai sebagai bentuk kekejaman terhadap binatang sebagai makhluk hidup.
Dalam rangka meminimalisir penggunaan hewan sebagai alat atau bahan percobaan, selama beberapa tahun terakhir, Food and Drug Administration (FDA) Amerika dengan para ilmuwannya mencoba mengembangkan metode percobaan alternatif lain yang dapat digunakan. Di antaranya, yaitu pengujian in vitro (in vitro testing), penggunaan organ miniatur, pemodelan komputer (computer modeling), pengujian micro-dosing, hingga sukarelawan manusia.
Alternatif-alternatif ini dinilai dapat merevolusi cara obat dikembangkan dan diuji. Serta dianggap tidak hanya lebih manusiawi, tapi juga lebih akurat.
Penulis: Anissa Kinaya Maharani
Editor: Iip M Aditiya