Politik uang (money politics) masih menjadi salah satu ancaman serius dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024. Dengan perkembangan teknologi, modus politik uang kini semakin berkembang. Banyak yang kini mengirimkan uang digital ke rekening calon pemilih dengan harapan mendapat imbalan “suara”. Hal ini tentu melanggar asas pemilihan umum, di mana calon pemilih harusnya dapat menentukan pilihan dengan bebas tanpa tekanan dari pihak luar.
Apa Itu Politik Uang?
Menurut Komisi Pemilihan Umum (KPU), politik uang adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan berlangsung. Pembelian suara ini dapat dilakukan menggunakan uang atau barang, seperti sembako, dan biasa diberikan oleh tim kampanye, anggota partai politik, dan relawan.
Praktik politik uang ini sangat dilarang dalam pelaksanaan kampanye. Pemilihan harusnya didasarkan pada kepercayaan terhadap program dan visi misi yang dipaparkan oleh setiap calon, bukannya atas dasar besaran uang atau barang yang diperoleh.
Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, pasal 73 ayat (3), terdapat hukuman pidana penjara paling lama 3 tahun untuk pelaku pemberi suap dan juga penerimanya. Tidak hanya itu, dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pasal 187A menyebutkan bahwa tersangka suap juga bisa diberikan sanksi denda minimal Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Politik uang sendiri sejatinya adalah benih dari korupsi. Penyuapan untuk mendapatkan suara merupakan upaya tidak etis dalam memenangkan kontestasi pemilihan umum. Setiap pemimpin yang terpilih harusnya berasal dari aspirasi masyarakat yang memang dapat mewakili suara rakyat. Politik uang ini bukan hanya merugikan sesama pasangan calon lain, tapi juga merugikan negara karena berpotensi menghasilkan pemimpin yang tidak kompeten.
Politik Uang di Pilkada 2024
Ancaman politik uang di Pilkada 2024 terus disuarakan oleh berbagai pihak, salah satunya oleh anggota DKPP Ratna Dewi Pettalolo. Dalam Rapat Koordinasi Lintas Sektoral Kesiapan Pengamanan Pilkada Serentak Tahun 2024, ia menegaskan bahwa politik uang dapat menyebabkan konflik antar peserta pilkada dengan penyelenggara. Ia juga menyebutkan modus politik uang kini semakin berkembang.
“Money politics akan banyak (terjadi) menggunakan teknologi digital,” tuturnya pada Kamis (25/7/2024), mengutip laman resmi DKPP.
Pemberian uang melalui transfer ke rekening memang meninggalkan jejak, namun menurutnya, kini banyak pihak menggunakan layanan fintech karena akan sulit dilacak oleh PPATK.
Tidak hanya itu, pengamat politik dari Universitas Brawijaya, Wawan Sobari, juga mengimbau masyarakat agar berhati-hati terhadap money politics ini. Apalagi sekarang, politik uang diberikan oleh pihak yang terlihat netral, seperti saudara dan organisasi khusus, sehingga modusnya sering kali sulit dikenali.
50% Warga Indonesia Pernah Ditawari Hadiah Saat Mau Coblos
Menurut survei yang diusung Populix, nyatanya 50% responden mengaku pernah ditawari uang atau hadiah pada pemilihan sebelumnya saat akan menyoblos. Bahkan, 31% di antaranya tercatat pernah beberapa kali ditawari uang atau hadiah.
Menariknya, status ekonomi turut memengaruhi pengalaman politik uang ini. Survei tersebut mencatat, potensi tawaran uang ternyata lebih tinggi pada status ekonomi menengah dan rendah ketimbang tinggi. Hal ini menggambarkan bagaimana para pelaku money politics cenderung menyasar kelompok masyarakat dengan kondisi ekonomi yang sulit, yang dengan iming-iming hadiah dapat mengubah pilihannya dengan mudah.
Dari 50% responden yang pernah ditawari hadiah uang sebelum pemilihan, 77% mengaku mendapat hadiah tersebut dari tim sukses dan 43% dari pengurus partai politik. Modus politik uang ini tidak hanya melibatkan tim calon, melainkan juga pihak-pihak yang terkesan netral. Sebanyak 21% responden mengaku pernah mendapat tawaran uang dari tetangga dan 20% dari ketua RT/RW. Beberapa juga mengaku pernah mendapat tawaran dari pengusaha lokal.
Kendati pernah mendapat tawaran hadiah, sebanyak 74% responden mengaku tidak melaporkan hal tersebut pada pihak berwenang. Adapun alasan utamanya adalah mereka merasa praktik politik uang seperti ini sudah biasa terjadi, bahkan lama kelamaan telah “dinormalisasikan”, sehingga bukan lagi hal yang aneh.
Selain itu, ragam alasan lain seseorang tidak melaporkan praktik politik uang yang diterimanya adalah karena tidak paham cara melaporkannya (21%), tidak percaya akan ditindak lebih lanjut (21%), takut akan konsekuensinya (15%), dan merasa praktik politik uang ini takkan mengubah hasil pemilihan (14%).
Menariknya, tawaran uang di bawah Rp150.000 dianggap terlalu kecil untuk membuat seseorang mengubah pilihannya mengikuti pilihan pemberi. Adapun besaran yang dianggap menarik untuk dipertimbangkan dalam memilih kandidat ada di kisaran Rp300.000. Sebanyak 18% responden mengaku akan mengubah pilihan jika diberi iming-iming imbalan sebesar lebih dari Rp400.000, meski mayoritas (54%) mengaku takkan menerima imbalan sama sekali.
Masyarakat Indonesia Tolak Politik Uang
Sebanyak 65% responden menyatakan sikapnya yang tegas untuk menolak praktik politik uang sebagai alat kampanye. Politik uang merupakan hal yang tidak bisa diterima, karena pada akhirnya, jual beli suara ini akan sangat berpengaruh terhadap masa depan suatu daerah. Politik uang membuat kontestasi pilkada tidak bisa dijalankan dengan fairplay, membuat prinsip demokrasi di Indonesia kembali dipertanyakan.
Sementara itu, sebanyak 23% responden mengaku pasti akan melaporkan jika menemukan praktik politik uang di sekitarnya, sedangkan 54% lainnya masih merasa ragu. Adapun 23% responden tercatat takkan melaporkan praktik politik uang tersebut, menggambarkan bagaimana pelanggaran terhadap prinsip demokrasi ini telah dianggap sebagai sesuatu yang normal di kalangan masyarakat.
Survei Populix bertajuk Partisipasi dan Opini Publik Menjelang Pilkada 2024: Politik Dinasti dan Politik Uang ini dilaksanakan pada 23-26 Mei 2024 dengan melibatkan 982 responden, mayoritas merupakan generasi Z dan 60% berasal dari Jawa.
Berantas Politik Uang dari Sistem Demokrasi Indonesia
Pada Pemilu 2019 lalu, Badan Pengawas Pemilu menangkap tangan 25 kasus politik uang pada masa tenang di 13 provinsi di tanah air. Tidak hanya uang, pemilih juga diberi hadiah seperti deterjen hingga sembako. Tercatat, temuan terbesar ada di Kecamatan Tigabinanga, Kabupaten Karo, Sumatra Utara, dengan nilai mencapai Rp190 juta.
Maraknya politik uang bahkan sejak pemilu lalu menunjukkan bahwa pilihan masyarakat Indonesia pada akhirnya sangat bisa disesuaikan dengan kepentingan pihak tertentu, selama modal yang dimiliki mencukupi. Menurut laman Pusat Edukasi Antikorupsi dari KPK, ada tiga faktor yang mendorong terjadinya politik uang, selain tentunya faktor ekonomi, yakni sebagai berikut.
Faktor Politik
Politik uang dapat terjadi ketika calon legislatif menginginkan jalan pintas untuk meraih kemenangan, padahal program maupun visi dan misi yang ditawarkan sama sekali tidak berbobot, atau bahkan tidak memiliki program sama sekali untuk ditawarkan. Kehausan akan kekuasaan ini mendorong calon menghalalkan segala cara, bahkan termasuk menyuap para pemilih.
Faktor Hukum
Tidak hanya faktor politik, hukum Indonesia masih sangat lemah dalam mengurus masalah politik uang, yang menyebabkan pelaku bisa bergerak dengan bebas.
Faktor Budaya
Menariknya, kebudayaan di Indonesia yang sering merasa tidak enak untuk menolak pemberian orang lain turut mendorong maraknya kasus politik uang menjelang pemilihan umum. Menolak hadiah sering dipandang sebagai hal yang tidak sopan, yang mana budaya ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku.
Lebih lanjut, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menyebutkan bahwa penyebab politik uang masih terus terjadi adalah karena masyarakat Indonesia masih belum sejahtera dan tingkat pendidikannya belum baik. Hal inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku, memberi uang sebagai bentuk “bagi-bagi rezeki” yang tentunya disambut dengan baik oleh warga yang membutuhkan.
Memang membasmi politik uang tidaklah mudah. Perlu kerja sama dari masyarakat, partai politik, dan juga badan pengawas yang harus tegas dan aktif mengawasi jalannya pemilihan umum. Pemberian edukasi terhadap masyarakat, membangun partai politik yang berintegritas, dan menjerat pelaku dengan hukuman yang tegas dapat menjadi sederet langkah awal untuk sama-sama mencegah praktik pembelian suara ini terjadi. Setiap warga berhak menentukan pilihannya dengan bebas dan bersih, tanpa tekanan atau pengaruh dari pihak luar.
Baca Juga: Jelang Pilkada 2024, Isu Ekonomi Jadi Perhatian Utama Warga Jabar
Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor