Investasi bodong dan pinjaman online semakin merajalela di tanah air. Dilaporkan, Satgas Waspada Investasi (SWI) di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memblokir sebanyak 15 entitas yang melakukan penawaran tanpa izin hingga periode 30 April 2023 lalu.
“SWI telah menghentikan 15 entitas yang melakukan penawaran investasi tanpa izin dan menindaklanjuti sebanyak 155 platform pinjaman online ilegal dengan menghentikan kegiatan setiap entitas ilegal tersebut,” papar Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Perlindungan OJK Friderica Widyasari Dewi dikutip dari Kumparan.com.
Masih mengutip Kumparan, Friderica melaporkan bahwa OJK telah menerima sebanyak 94 ribu lebih permintaan layanan, termasuk sekitar 6,3 ribu pengaduan, 34 pengaduan terindikasi pelanggaran, dan 420 sengketa yang masuk ke dalam LAPS Sektor Jasa Keuangan (SJK) sejak Januari-April 2023.
Adapun merujuk data dari OJK, mayoritas penerima pinjol di tanah air ternyata berasal dari kelompok usia muda. Tercatat, jumlah rekening penerima pinjol aktif berusia 19-34 tahun mencapai 10,9 juta entitas dengan nilai pinjaman sebesar Rp26,87 triliun pada Juni 2023.
Jumlahnya meningkat sebanyak 2,6% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month) yang mencapai 6,32 juta entitas. Kemudian, angkanya juga terpantau naik 25,9% dari tahun sebelumnya (year-on-year) yang hanya 8,67 juta entitas.
Selain itu, OJK mencatat bahwa anak muda juga menyumbang kredit macet pinjol terbesar. Berdasarkan laporan, terdapat sebanyak 343.663 peminjam berusia 19-34 tahun yang memiliki nilai akumulasi gagal bayar utang sebesar Rp763,65 miliar per Juni 2023.
Lalu, berapa jumlah kerugian yang dialami masyarakat RI dari kasus investasi bodong dan pinjol ilegal? Berikut selengkapnya,
Kerugian akibat investasi bodong dan pinjol ilegal pada 2022 jadi yang tertinggi
Berdasarkan paparan Friderica, digitalisasi keuangan sangat menguntungkan semua pihak. Namun, kejahatan yang muncul harus diwaspadai. Misalnya kerugian hingga triliunan rupiah yang diakibatkan oleh kejahatan investasi bodong dan pinjol ilegal.
Ia melanjutkan, kerugian material yang dialami para korban akibat dua kejahatan tersebut mencapai Rp139 triliun sepanjang periode tahun 2017-2022. Adapun, rata-rata korbannya berasal dari kalangan masyarakat menengah ke bawah.
Berdasarkan laporan, kerugian yang dialami korban akibat investasi bodong dan pinjol ilegal pada 2022 mencapai Rp120,79 triliun. Ini tercatat lebih tinggi dibandingkan enam tahun terakhir. Sebagai perbandingan, jumlah kerugian yang tercatat pada tahun sebelumnya, yakni 2021 hanya sebesar Rp2,54 triliun.
Terkait hal ini, Ketua SWI Tongam L. Tobing menyoroti kelonjakan jumlah kerugian masyarakat terkait investasi ilegal dan pinjol ini disebabkan oleh maraknya pemain robot trading. Ia memaparkan, mahasiswa merupakan salah satu korban tersbesar dari modus investasi ilegal ini.
“Kita lihat contohnya ada Viral Blast, Fahrenheit, DNA Pro. Ini kami blokir, kami hentikan. Memang kami disalahkan, tapi hal ini membantu berbagai lapisan masyarakat agar tidak terjerumus,” tutur Tongam dikutip dari Kompas.com.
Sementara, Friderica menemukan fenomena bahwa beberapa influencer yang disebut sebagai crazy rich ternyata juga menjadi salah satu faktor maraknya penipuan dan meningkatnya pengguna pinjol ilegal saat ini.
“Ya, akhirnya masyarakat (tergiur) ikut robot trading yang berujung pada penipuan,” jelasnya dikutip dari Kontan.co.id.
Maraknya fenomena FOMO dari kalangan usia muda
Selain fenomena di atas, ada satu lagi fenomena yang menjamur di tengah masyarakat terkait maraknya kejahatan kasus pinjol ilegal dan investasi bodong. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) menjadi faktor terbesar, yang memiliki pengertian sebagai kecemasan jika kehilangan momen atau informasi.
Biasanya, masyarakat yang terjerat FOMO sangat mudah terbuai dengan keuntungan besar tanpa mempedulikan risiko. Hal ini marak terjadi di kalangan anak muda, sehubungan dengan banyaknya anak muda yang aktif menjadi penerima pinjol di tanah air.
“Masyarakat Indonesia juga ada yang dinamakan casino mentality atau mental orang berjudi. Mereka ingin cepat kaya, namun tidak memikirkan risikonya,” ungkap Friderica dikutip dari Katadata.co.id.
Lebih lanjut, ia juga menjelaskan faktor di balik aktivitas keuangan ilegal, termasuk pinjol ilegal dan investasi bodong yang menjamur di Indonesia. Friderica menganggap, rendahnya literasi keuangan masyarakat sangat berpengaruh dalam hal ini. Tercatat, skor literasi keuangan masyarakat hanya sekitar 49,6% dan literasi keuangan digital hanya 3,5 poin dari skala 1-5.
“Itu artinya, masyarakat belum pintar sekali. Portalnya sudah terbuka, namun masyarakat masih belum bisa membedakan informasi yang benar dan salah,” katanya.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya