Obesitas di Indonesia: Potensi Krisis Kesehatan di Era Modern?

Jarang diperhitungkan, nyatanya obesitas menjadi salah satu penyakit dengan dampak ekonomi global terbesar. Lantas, bagaimana perkembangannya di Indonesia?

Obesitas di Indonesia: Potensi Krisis Kesehatan di Era Modern? Ilustasi Obesitas | Alomedika

Meski sering dipandang sebelah mata, obesitas merupakan salah satu masalah kesehatan yang banyak dijumpai di dunia. Menurut laporan Kementerian Kesehatan, dampak ekonomi global akibat obesitas pada tahun 2014 mencapai US$2 triliun per tahun, jumlahnya setara dengan dampak akibat merokok dan perang/konflik global. Kerugian tersebut mencakup biaya kesehatan dan biaya terkait hilangnya produktivitas akibat obesitas.

Obesitas berkaitan erat dengan kebiasaan mengonsumsi makanan dalam jumlah berlebih dari yang dibutuhkan tubuh. Kemajuan teknologi di berbagai belahan dunia membuat akses terhadap makanan menjadi lebih mudah, mendorong tingginya tingkat obesitas. Tidak hanya itu, aktivitas fisik yang semakin jarang dilakukan oleh generasi muda menambah daftar panjang penyebab riwayat obesitas di kalangan anak muda.

Masalah obesitas tidak hanya dialami dunia, melainkan juga di Indonesia. Pada tahun 2023, tercatat bahwa prevalensi obesitas Indonesia mencapai 23,4% untuk orang dewasa usia di atas 18 tahun. Angka ini nyaris setengah dari prevalensi status gizi normal di Indonesia yang sebesar 54,4%. Hal ini berarti, sekitar 1 dari 5 penduduk Indonesia mengalami obesitas.

Apa Itu Obesitas?

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes), tingkat obesitas seseorang dapat ditentukan berdasarkan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT dilakukan dengan membandingkan antropometri berat badan dan tinggi badan, biasanya dilakukan untuk orang dewasa di atas usia 18 tahun.

Seseorang yang dikatakan obesitas memiliki IMT lebih besar atau sama dengan 27. Sedangkan untuk IMT di antara 25-27 termasuk kategori overweight, IMT antara 18,5 sampai 25 masuk kategori normal, dan IMT lebih rendah dari 18,5 masuk kategori wasting.

Sedikit berbeda dengan acuan Kemenkes, World Health Organization (WHO) mendefinisikan obesitas sebagai orang dengan IMT di atas 25. Ada dua jenis obesitas yang digunakan WHO, yakni Obesitas I dan Obesitas II. Perbedaan keduanya terletak pada besar IMT. Obesitas I memiliki IMT sebesar 25 hingga 29,9, sedangkan Obesitas II memiliki IMT di atas 30.

Meski begitu, IMT bukanlah satu-satunya indikator untuk mengukur obesitas. Cara lain untuk mengukur obesitas adalah dari antropometri tubuh, yakni melalui lingkar perut atau lingkar pinggang. Hal inilah yang disebut sebagai obesitas sentral atau obesitas abdominal. Obesitas sentral adalah kumpulan lemak abdominal berlebih yang terdapat di daerah abdomen atau perut. 

Laki-laki yang termasuk obesitas sentral memiliki lingkar perut di atas 90 cm, sedangkan untuk perempuannya di atas 80 cm.

Obesitas dan Pengaruh Pekerjaan

Pekerja di tingkat pemerintah seperti BUMD, BUMN, TNI, hingga Polri cenderung memiliki prevalensi obesitas lebih tinggi dibanding pekerjaan lain | GoodStats
Pekerja di tingkat pemerintah seperti BUMD, BUMN, TNI, hingga Polri cenderung memiliki prevalensi obesitas lebih tinggi dibanding pekerjaan lain | GoodStats

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia 2023 oleh Kemenkes, prevalensi obesitas tertinggi dialami oleh penduduk yang bekerja sebagai PNS, TNI, Polri, BUMN, maupun BUMD. Mereka yang tidak bekerja juga memiliki prevalensi obesitas yang cukup tinggi, hampir mencapai 30%. 

Hal ini menunjukkan bahwa faktor pekerjaan memiliki pengaruh terhadap kondisi tubuh seseorang. Pekerjaan yang membutuhkan banyak aktivitas fisik cenderung memiliki risiko obesitas yang rendah, sedangkan pekerjaan yang mengharuskan karyawan duduk diam di depan layar selama berjam-jam per harinya memiliki risiko obesitas yang lebih tinggi.

Perempuan Lebih Sering Alami Obesitas Dibanding Laki-laki

Jika dilihat dari jenis kelamin, prevalensi obesitas pada wanita lebih tinggi dibanding pria | GoodStats
Jika dilihat dari jenis kelamin, prevalensi obesitas pada wanita lebih tinggi dibanding pria | GoodStats

Menariknya, Kemenkes juga mencatat bahwa prevalensi obesitas lebih tinggi ditemukan pada perempuan dibanding laki-laki. Pada 2023, tercatat prevalensi obesitas pada wanita sebesar 31,2%, sedangkan pada laki-laki hanya 15,7%.

Menurut Current Obesity Reports, perempuan memang tercatat memiliki risiko obesitas lebih tinggi dibanding pria. Perbedaan hormon yang dimiliki perempuan dan laki-laki menjadi salah satu penyebabnya. Tubuh wanita memang cenderung menyimpan lebih banyak lemak, sedangkan laki-laki lebih banyak memiliki otot. Hal ini dikarenakan produksi hormon testosteron yang lebih tinggi pada laki-laki dibanding wanita.

Dengan massa otot yang lebih banyak, pria otomatis membutuhkan lebih banyak kalori. Untuk itulah, ketika pria makan, kalorinya akan diserap oleh otot dan tidak tertimbun. Akibatnya, laki-laki takkan cepat gemuk.

Hal ini berbeda dengan perempuan. Massa otot pada tubuh wanita lebih sedikit, sehingga apabila makan dengan jumlah kalori berlebih, tubuh wanita akan menimbun kalori tersebut, dan akan berubah menjadi lemak. Inilah yang membuat perempuan lebih rentan terhadap obesitas.

Meski begitu, obesitas tidak hanya disebabkan oleh hormon. Gaya hidup dan pola makan juga memengaruhi tingginya obesitas di kalangan masyarakat.

Laki-laki cenderung lebih sering berolahraga ketimbang wanita, yang membuat frekuensi aktivitas fisiknya lebih tinggi dibanding perempuan. Laki-laki juga lebih banyak dipercayakan pekerjaan yang membutuhkan energi besar, berbeda dengan wanita. Hal ini turut menyebabkan risiko obesitas pada wanita lebih tinggi.

Status Ekonomi Kaum Obesitas

Prevalensi obesitas tertinggi ditemukan pada status ekonomi teratas | GoodStats
Prevalensi obesitas tertinggi ditemukan pada status ekonomi teratas | GoodStats

Jika dilihat dari status ekonominya, maka penderita obesitas cenderung berasal dari status ekonomi teratas, dengan prevalensi sebesar 30,5%. Terdapat pola hubungan antara prevalensi obesitas dengan status ekonomi. Semakin tinggi status ekonomi, maka semakin tinggi pula prevalensi obesitas di tanah air, begitu pula sebaliknya.

Lagi-lagi, hal ini berkaitan dengan aktivitas fisik, gaya hidup, serta pola konsumsi sehari-hari. Penduduk dengan status ekonomi teratas cenderung telah memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya dengan baik, sehingga tidak perlu lagi melakukan pekerjaan fisik yang melelahkan. Mereka juga lebih banyak bekerja dari tempat masing-masing, mengurangi mobilitas sehari-hari. 

Hal ini berbanding terbalik dengan mereka yang berasal dari status ekonomi terbawah, yang prevalensi obesitasnya mencapai 14,3%. Mereka cenderung membanting tulang setiap hari untuk bekerja mengumpulkan rupiah, dan pekerjaan tersebut tidak jarang berhubungan dengan fisik. Untuk itulah, energi yang terpakai juga lebih tinggi, membuat prevalensi obesitas menjadi lebih rendah.

Prevalensi Obesitas Berdasarkan Provinsi

Jakarta menjadi provinsi dengan prevalensi obesitas tertinggi di Indonesia | GoodStats
Jakarta menjadi provinsi dengan prevalensi obesitas tertinggi di Indonesia | GoodStats

Provinsi dengan prevalensi obesitas tertinggi ditemukan DKI Jakarta, dengan prevalensi sebesar 31,8%. Meski terkenal sebagai kota metropolitan, nyatanya prevalensi obesitas di Jakarta masih yang tertinggi di Indonesia. 

Posisi kedua dipegang oleh Sulawesi Utara dengan prevalensi sebesar 30,6%, disusul oleh Papua Barat dan Papua Barat Daya dengan 29,3%, Kalimantan Timur dengan 28%, serta Gorontalo dengan 27,5%.

Data ini menunjukkan bahwa sebaran penderita obesitas Indonesia tidak menumpuk hanya di satu wilayah saja. Semua provinsi di Indonesia menghadapi risiko yang sama. Obesitas memang terdengar seperti masalah sepele, namun jika dibiarkan terus menerus, dampaknya bisa berbahaya, tidak hanya bagi individu yang bersangkutan, melainkan juga bagi orang-orang di sekitar dan negara.

Apa Saja Dampak Obesitas?

Kemenkes mencatat, obesitas dapat mengakibatkan berbagai penyakit berbahaya lain, seperti memperburuk asma, osteoartritis lutut dan pinggul, pembentukan batu empedu, nyeri pinggang, hingga sleep apnoea, yakni fenomena berhenti bernafas ketika tidur. Beberapa penyakit berbahaya seperti kanker, stroke, penyakit jantung koroner, diabetes, hingga infertilitas juga disebabkan oleh obesitas.

Obesitas perlu dicegah, bukannya dibiarkan menjadi momok dalam negeri. Bukan hanya pada orang dewasa, obesitas juga ditemukan pada anak-anak.

Banyak orang tua yang tidak terlalu memperhatikan asupan gizi buah hatinya. Anggapan “yang penting mau makan” masih terus diadopsi di Indonesia, membuat anak-anak Indonesia memiliki risiko tinggi terkena obesitas.

Riset Kesehatan Dasar menyebutkan bahwa 1 dari 3 masyarakat Indonesia mengalami obesitas. Bahkan, 1 dari 5 anak-anak Indonesia mengalami overweight. Gaya hidup yang tidak sehat menjadi salah satu penyebab utamanya.

“Terjadinya gaya hidup yang mager (malas gerak) atau sedentary lifestyle, juga meningkatnya lingkungan obesogenik, yaitu makanan yang tinggi kadar gula dan lemak serta tanpa memperhatikan nilai kalori,”  tutur Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Dr. Eva Susanti, mengutip laman Sehat Negeriku.

Obesitas dapat dicegah, hanya dan hanya jika masyarakat Indonesia mau merubah pola konsumsi dan gaya hidupnya. Perlu pula dukungan dari berbagai pihak lintas sektor dan program. Masyarakat Indonesia harus sadar bahwa obesitas bukanlah sekadar kelebihan berat badan. Obesitas merupakan kondisi berbahaya yang lahir dari gaya hidup malas dan sangat berbahaya jika dibiarkan begitu saja.

“Obesitas sangat mungkin dicegah dengan menerapkan perilaku hidup sehat. Pencegahan terhadap faktor risiko yang memerlukan komitmen setiap individu untuk bisa bertanggung jawab terhadap kesehatan dirinya,” lanjut Eva.

Baca Juga: Tingkat Obesitas Anak di ASEAN: Pentingnya Edukasi Pola Makan

Penulis: Agnes Z. Yonatan
Editor: Editor

Konten Terkait

Simak Pertimbangan Utama Orang Indonesia dalam Memilih Konser Musik

Berbagai pertimbangan ini menciptakan keberagaman dalam industri musik, di mana setiap genre dan artis memiliki pangsa pasar tersendiri.

Gaji Jadi Alasan Utama Gen Z Pilih Resign

Selain gaji, beban kerja yang terlalu tinggi, tidak dihargai di tempat kerja, dan ingin mencari pekerjaan lain turut menjadi alasan gen Z memilih resign.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook