Pada abad ke-15 hingga abad ke-17, kelebihan berat badan sempat menjadi standar kecantikan. Tubuh yang lebih berisi dianggap sebagai simbol kekayaan, kesehatan, dan status sosial yang tinggi. Bahkan hingga kini, anak kecil yang memiliki tubuh lebih gemuk pun sering kali dianggap lebih lucu. Anak yang kurus malah disebut kurang gizi.
Namun, faktanya, kelebihan berat badan memiliki risiko yang berbahaya terhadap kesehatan. Khususnya pada anak, obesitas bukan hanya masalah estetika, melainkan masalah kesehatan serius yang dapat memengaruhi kesejahteraan fisik dan mental. Anak dikatakan obesitas saat memiliki berat badan yang jauh di atas rata-rata untuk usia dan tinggi badannya.
Kondisi obesitas biasanya diukur menggunakan indeks massa tubuh (BMI) yang telah disesuaikan berdasarkan usia dan jenis kelamin. Secara medis, anak yang obesitas adalah anak-anak berusia 2 tahun ke atas yang memiliki BMI di atas persentil ke-95.
Prevalensi Obesitas Anak di 10 Negara ASEAN
Persoalan obesitas anak telah menjadi masalah global yang memengaruhi banyak negara di dunia. Di berbagai negara ASEAN, termasuk Indonesia, prevalensi obesitas anak terus meningkat setiap tahunnya. Fenomena ini biasanya dikaitkan dengan perubahan gaya hidup serta pola makan yang kurang sehat.
Grafik di atas memperlihatkan tingginya proporsi obesitas anak di ASEAN. Anak laki-laki cenderung memiliki persentase yang lebih tinggi ketimbang perempuan di seluruh negara ASEAN. Bahkan di Brunei Darussalam, sekitar 1 dari 4 anak laki-laki mengalami obesitas.
Indonesia sendiri menempati peringkat ke-5 dengan persentase di atas 10%. Jika dibandingkan negara lain, tidak terlihat selisih yang signifikan antara persentase obesitas anak laki-laki dan perempuan di Indonesia. Artinya, dalam program-program pencegahan dan penanganan obesitas anak di Indonesia, strategi yang berfokus pada jenis kelamin tertentu tidak terlalu diperlukan.
Real Food vs Junk Food
Obesitas anak berbahaya untuk kesehatan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Anak dengan obesitas berisiko lebih tinggi terkena penyakit kronis seperti diabetes tipe II, hipertensi, hingga penyakit jantung. Selain itu, secara psikologis obesitas pun berisiko mengakibatkan penurunan kepercayaan diri anak dan depresi. Untuk itu, penting untuk mencegah obesitas sejak dini.
Pola makan yang tidak sehat menjadi faktor utama munculnya obesitas, sehingga mengatur pola makan merupakan langkah pencegahan yang paling efektif. Konsumsi makanan cepat saji atau junk food seperti keripik, permen, dan minuman bersoda yang tinggi kalori, gula, dan lemak dapat menyebabkan penambahan berat badan yang cepat dan tidak sehat.
Sebaliknya, real food atau makanan asli, seperti buah-buahan, sayuran, dan protein tanpa lemak, menyediakan nutrisi yang dibutuhkan tubuh secara seimbang. Mengganti junk food dengan real food dalam diet anak dapat membantu mencegah obesitas dan meningkatkan kesehatan secara keseluruhan.
Pemerintah Indonesia sendiri sedang mengupayakan gerakan Isi Piringku sebagai panduan porsi makan yang seimbang. Melalui gerakan tersebut, dijelaskan bahwa isi piring anak yang baik harus mencakup buah dan sayur (setengah piring), karbohidrat (seperempat piring), serta protein (seperempat piring).
Dengan mengikuti panduan Isi Piringku, diharapkan perbaikan gizi anak serta pencegahan obesitas di tanah air dapat terwujud. Selain itu, perlu juga ditekankan bahwa mengatasi obesitas anak membutuhkan pendekatan yang komprehensif. Kolaborasi semua pihak diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang mendukung gaya hidup sehat bagi anak-anak, sehingga generasi berikutnya dapat tumbuh menjadi individu yang lebih sehat dan produktif.
Baca Juga: Tren Kematian Akibat Obesitas di Indonesia Belum Ada Tanda Penurunan
Penulis: Afra Hanifah Prasastisiwi
Editor: Editor