Pada 29 Mei 2024, Menteri Sosial Tri Rismaharini menyatakan penolakannya untuk konsep panti jompo karena dianggap tidak sesuai dengan budaya ketimuran Indonesia. Pernyataan tersebut kemudian menimbulkan banyak perdebatan di tengah masyarakat.
Di tengah transformasi modern, munculnya pro kontra akan hal ini merupakan sesuatu yang alami dan tidak dapat dihindari. Pasalnya, masyarakat Indonesia sebelumnya banyak bekerja di sektor agraris dan umum untuk tinggal dalam satu atap dengan lebih dari dua generasi. Namun, sekarang mereka semakin beralih ke pekerjaan modern yang memaksanya untuk merantau dan tinggal di rumah dengan jumlah keluarga yang lebih kecil.
Secara historikal, terpisahnya generasi tua dengan anak-anaknya membuat bermunculan banyak panti jompo. Di panti jompo, para lansia mendapat beragam fasilitas seperti kesehatan, aktivitas sosial, dan kemudahan akses lainnya. Karena itu, negara-negara barat yang lebih dulu merasakan transformasi modern cenderung memilih untuk memanfaatkan fasilitas panti jompo.
Mengingat Indonesia masih dalam tahap transformasi ke masyarakat modern, panti jompo masih sering dikaitkan dengan budaya barat sehingga memicu pro dan kontra. Perbedaan antara persepsi masyarakat negara maju dengan Indonesia mengenai panti jompo ini juga didasarkan oleh banyak aspek selain budaya, yakni mencakup aspek sosial, politik, hingga ekonomi.
Dalam aspek ekonomi utamanya, tidak banyak negara yang dapat menyediakan cukup anggaran untuk program hari tua. Kurangnya anggaran tersebut juga dapat dikarenakan kondisi sosial dan politik negara yang tidak mengedepankan kebutuhan ini.
Berikut merupakan perbandingan beberapa negara mengenai persentase anggaran program hari tua dengan Produk Domestik Bruto (PDB) negaranya, mengutip KFF Health News dan The New York Times.
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa The Netherlands atau Belanda memiliki porsi yang besar untuk program hari tua hingga lebih dari 4% PDB negara. Di negara tersebut masyarakatnya wajib membeli asuransi publik yang dimaksudkan untuk pembayaran panti jompo dan kebutuhan perawatan lansia bagi yang tinggal di rumah.
Beberapa negara maju lainnya juga memiliki pola yang kurang lebih serupa dengan Belanda walaupun dengan persentase yang berbeda-beda bergantung pada kebijakan negaranya masing-masing. Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Saat ini tidak ada data terbuka yang secara khusus memperlihatkan porsi anggaran untuk lansia dalam program Jaminan Kesehatan Negara (JKN). Tetapi perhitungan dengan estimasi tetap dapat dijalankan.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), PDB Indonesia di tahun 2023 sebesar Rp20,892.4 triliun. Kemudian Kementerian Keuangan Indonesia mencatat bahwa alokasi untuk JKN di 2023 yang mencakup program asuransi kesehatan, termasuk untuk lansia, adalah sekitar Rp70 triliun. Artinya anggaran khusus untuk lansia berkisar kurang dari Rp70 triliun.
Jika dihitung secara matematis, Rp70 triliun hanya sekitar 0,34% dari PDB Indonesia atau berarti kurang dari 0,34% PDB negara dialokasikan untuk program lansia. Estimasi ini memperlihatkan bahwa perhatian Indonesia untuk program hari tua masih jauh dari angka yang dimiliki negara-negara yang disebutkan sebelumnya.
Hal ini juga sekali lagi memperlihatkan bahwa baik secara budaya, sosial, ekonomi, maupun kebijakan politik, program hari tua belum memiliki porsi perhatian yang besar di Indonesia.
Penulis: Afra Hanifah Prasastisiwi
Editor: Editor