Pemilu 2024 kini memasuki tahap baru untuk memproses suara yang telah terkumpul pada 14 Februari kemarin. Fungsi pengawasan yang diserahkan secara resmi kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) ini masih terus berlanjut. Peran pengawasan dilakukan Bawaslu sejak perencanaan, pelaksanaan, hingga pasca-pelaksanaan pemilu.
Dalam laporan Bawaslu, pengawasan dilakukan di antaranya terhadap proses penetapan peserta pemilu, pendaftaran pemilih, produksi logistik, distribusi logistik, tahapan kampanye, serta pemungutan dan penghitungan suara.
Pelanggaran dalam pemilu dapat berupa pelanggaran administrasi atau pelanggaran pidana pemilu. Berdasarkan laporan Bawaslu, dua kategori pelanggaran ini mengalami kenaikan lebih dari 50 persen pada Pemilu 2019 jika dibandingkan dengan Pemilu 2014.
Pelanggaran administrasi cukup tinggi dibandingkan pelanggaran pidana pemilu. Pada Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 2014, terdapat 8.380 dugaan pelanggaran. Sebanyak 5.814 kasus merupakan temuan Bawaslu dan 2.566 kasus merupakan aduan dari masyarakat.
Dari total dugaan pelanggaran, hanya 74 persen yang ditindaklanjuti. Bawaslu menyatakan, ada beberapa alasan dugaan pelanggaran tak ditindaklanjuti, seperti unsur pelanggaran yang tak terpenuhi dan tak ditemukannya alat bukti.
Di samping itu, pada Pemilihan Presiden 2014 mencatat adanya 668 pelanggaran administrasi, 49 pelanggaran pidana pemilu, dan 21 pelanggaran etik.
Pada Pemilu 2019, pelanggaran yang telah diregistrasi sebanyak 21,899 kasus. Selain pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana, laporan Bawaslu juga mencatat 1.475 kasus pelanggaran hukum lainnya, 373 kasus pelanggaran kode etik, dan 2.578 kasus dinyatakan bukan pelanggaran.
Sementara Bawaslu belum merilis dugaan pelanggaran di Pemilu 2024, Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama Themis Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengeluarkan Catatan Pemantauan Pemilu 2024 pada 12 Februari lalu.
Laporan tersebut hanya meliputi 10 daerah, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Pemantauan yang dimulai sejak 25 Januari 2024 ini tidak menjangkau seluruh wilayah Indonesia karena keterbatasan pemantau.
Berdasarkan temuan sementara, bentuk pelanggaran paling banyak terjadi terkait netralitas pejabat atau aparatur negara dan desa sebanyak 22 kasus. Politik uang disinyalir terjadi dalam 20 kasus, kemudian netralitas atau profesionalitas penyelenggara pemilu sebanyak 10 kasus, penyalahgunaan fasilitas negara sebanyak 7 kasus, dan pelanggaran lainnya sebanyak 2 kasus.
ICW, Themis Indonesia, dan AJI juga menyoroti masalah pejabat negara khususnya menteri yang bukan anggota partai sekaligus bukan peserta pemilu, kemudian berkampanye di hari kerja.
Dugaan penyalahgunaan fasilitas negara disinyalir dilakukan dengan modus politisasi bantuan rice cooker dari Kementerian ESDM, rapat kerja pejabat negara disertai narasi ajakan untuk paslon tertentu, kendaraan dinas di parkiran kegiatan kampanye, kegiatan pemerintahan disertai atribut kampanye paslon tertentu, dan ancaman penghentian bansos agar memilih salah satu paslon.
Netralitas penyelenggara pemilu juga dipertanyakan dengan munculnya modus anggota KPPS menunjukkan gestur salah satu paslon, pemerasan dan ancaman untuk memihak, dan tidak kooperatif untuk memberikan informasi kampanye saat dibutuhkan.
Politik uang juga ditemukan melalui aktivitas pembagian doorprize, paket sembako, uang tunai, dan “janji” pemberian beasiswa ketika berkampanye.
Dugaan kampanye terselubung dengan memanfaatkan fasilitas negara juga digarisbawahi dalam laporan tersebut. Beberapa dugaan yang tampak menimbulkan pertanyaan bagaimana peran Bawaslu dalam menjalankan tugas pengawasannya.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Iip M Aditiya