Terkuaknya harta kekayaan fantastis milik mantan Kepala Bagian Umum kanwil DJP Jakarta Selatan II Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rafael Alun Trisambodo kini tengah menyita perhatian publik. Sebab, Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) meyakini adanya dugaan tindak kasus kejahatan pencucian uang (TPPU) dari aliran dana rekening miliknya.
Pasalnya, indikasi kasus pencucian uang tersebut sudah ada sejak tahun 2012 silam. Hasil analisa PPATK tersebut telah diserahkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung (Kejagung), serta Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan (Itjen Kemenkeu).
“Kami sudah menyampaikan hasil analisis kepada KPK tahun 2012 lalu. Bila PPATK menyampaikan hasil analisisnya kepada penegak hukum, tentu sudah ada indikasi tindak pidana pencucian uang yang dilakukan,” jelas Natsir Kongah selaku Ketua Kelompok Humas PPATK melalui keterangannya pada Jumat, (24/2) lalu.
Sementara, KPK pada tanggal 21 Februari 2023 lalu telah meneken MoU (memorandum of understanding) dengan Bank Indonesia guna menguatkan upaya pencegahan korupsi di Indonesia. Kerja sama antara kedua instansi tersebut diharapkan agar celah korupsi tidak terlihat lagi.
“MoU ini salah satunya untuk menguatkan dukungan dalam upaya pemberantasan maupun pencegahan tindak pidana korupsi maupun tindak pidana pencucian uang,” ujar Ali Fikri selaku Juru Bicara bidang penindakan KPK pada Rabu, (22/2).
Puncucian uang merupakan tindakan kejahatan dengan upaya menyamarkan uang yang dihasilkan secara ilegal melalui berbagai transaksi keuangan agar uang tersebut dianggap legal. Lalu, bagaimana statistik kasus pencucian uang di Indonesia?
Maraknya tren korupsi di Indonesia dari tahun ke tahun
Transparency International melaporkan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) atau corruption perception index (CPI) Indonesia mengalami penurunan sebanyak empat poin menjadi 34 pada tahun 2022 dari 38 pada tahun 2022 lalu.
Kemerosotan poin IPK Indonesia ini turut menurunkan peringkat Indonesia pada skala global. Berdasarkan data, Indonesia menduduki peringkat ke-110 pada 2022. Adapun, peringkat IPK Indonesia menurun sebanyak 14 poin dari tahun 2021 yang berada di peringkat ke-96.
“Merujuk pada temuan Transparency International Indonesia, tak salah jika kemudian disimpulkan bahwa Indonesia layak dan pantas dikategorisasikan sebagai negara korup,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan lewat keterangan resminya pada Rabu, (1/2) silam.
Merujuk data dari Badan Pusat Statistik dalam Statistik Kriminal 2022, terdapat sebanyak 364 kasus korupsi yang dilaporkan di seluruh Kepolisian Daerah (Polda) di Indonesia sepanjang 2021. Angka ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya sebanyak 3,19 persen yang berjumlah 448 kasus korupsi.
Sementara, Sulawesi Tenggara dan Kalimantan Barat tercatat sebagai provinsi dengan kasus korupsi terbanyak dengan jumlah masing-masing 28 kasus sepanjang 2021. Disusul oleh Provinsi Bengkulu dengan 25 kasus.
Bahkan, PPATK mengungkapkan, ada ribuan transaksi keuangan mencurigakan dengan nilai total mencapai Rp183,8 triliun sepanjang tahun 2022. Diduga, terdapat indikasi korupsi lebih dari Rp81,3 triliun dari total nilai transaksi itu.
“Hasil analisis PPATK juga menemukan, modus yang paling jamak digunakan untuk menampung dana yang diduga hasil korupsi, yaitu mulai dari penukaran valuta asing, instrumen pasar modal, hingga pembukuan polis asuransi,” kata Wana Alamsyah selaku peneliti ICW.
DKI Jakarta jadi provinsi yang paling rawan kasus pencucian uang
Indonesia dikatakan masih perlu menunggu hingga Juni 2023 untuk menjadi anggota penuh Financial Action Task Force (FATF). Dalam rapat pleno FATF pada 22-24 Februari 2023 lalu, peraturan, hukum dan kelembagaan di Indonesia sudah cukup kuat. Namun, masih ada beberapa catatan yang perlu dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
“Indonesia perlu fokus untuk mengejar tindak pidana pencucian uang berskala besar dan meningkatkan penyitaan aset,” tulis FATF melalui keterangan resmi.
Menurut laporan bertajuk Indonesia National Risk Assessment (NRA) on Money Laundering 2021 yang dikeluarkan oleh PPATK, DKI Jakarta menjadi provinsi yang paling rawan kasus pencucian uang di Indonesia. Indeks skornya bahkan menyentuh angka sembilan.
Adapun, PPATK menyusun indeks dengan skor dari skala 3 hingga 9. Rinciannya ialah, skor 3 - 4,99 risikonya rendah, skor 5 – 7 risikonya menengah, sedangkan skor 7,01 – 9 risikonya tinggi. Menurut hasil temuan PPATK, DKI Jakarta jadi satu-satunya provinsi yang memiliki risiko tinggi sepanjang tahun 2021.
Menyusul Jakarta, Jawa Timur tercatat berada di posisi kedua dengan skor 6,5. Diikuti oleh Jawa Barat dengan skor 6,6, jawa Tengah dengan skor 5,9, Sumatera Utara mencapai 5,71, Bali 5,08, Kepulauan Riau 4,78, dan Sumatera Selatan 4,73.
Sedangkan berdasarkan kelompok profesi, PPATK mengungkapkan bahwa pemerintah dan legislatif menjadi profesi yang paling rawan terlibat kasus pencucian uang pada tahun 2021. Risikonya sangat tinggi mencapai skala 9.
Karyawan BUMN/BUBD (Badan usaha milik negara/daerah) menduduki peringkat kedua dengan skala 7,2. Angka ini kemudian diikuti oleh sejumlah profesi lainnya, yakni pengusaha sebesar 6,76, karyawan swasta 6,58 poin, dan pegawai negeri sipil (PNS) 5,84 poin.
Penulis: Nada Naurah
Editor: Iip M Aditiya