Persebaran rokok ilegal di tengah masyarakat semakin meningkat selama lima tahun terakhir. Peningkatan jumlah rokok ilegal tersebut turut beriringan dengan kebijakan peningkatan tarif cukai yang berpengaruh terhadap harga jual rokok. Tiga unsur berupa permintaan, harga, dan regulasi menjadi faktor utama fenomena konsumsi rokok ilegal.
Tingginya permintaan rokok oleh masyarakat berbenturan dengan tingginya harga rokok yang ditetapkan, menyebabkan banyak masyarakat yang tertarik untuk membuka usaha dan mengonsumsi rokok ilegal. Selisih harga antara rokok resmi dengan rokok tanpa cukai (ilegal) yang mencapai 60% menjadikan rokok ilegal kian digemari.
Seperti yang telah diketahui, Presiden Joko Widodo telah menyetujui untuk menaikkan rata-rata cukai rokok sebesar 10% berlaku tahun 2023 dan 2024. Kenaikan cukai rokok tersebut secara resmi telah tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022.
Dalam kebijakan tersebut, batasan harga jual eceran rokok dan tarif cukai per batang atau gram hasil tembakau buatan dalam negeri untuk tahun 2023 dan 2024 juga telah ditentukan. Harga jual ecer paling rendah untuk Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang menggunakan cengkeh sekitar Rp2.055 untuk golongan I.
Masih berada di golongan yang sama, harga paling rendah Sigaret Putih Mesin (SPM) atau rokok tanpa cengkeh ialah Rp2.165. Sedangkan, Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret Putih Tangan (SPT) memiliki harga jual paling rendah antara Rp1.250 sampai Rp1.800.
Adapun, kenaikan biaya Cukai Hasil Tembakau (CHT) merupakan salah satu strategi pemerintah untuk pengendalian konsumsi rokok masyarakat. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penurunan prevalensi merokok, khususnya usia 10-18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7% di tahun 2024
“Kalau konsumsinya makin naik, maka ada hubungannya itu pasti dengan kesehatan. Dunia internasional mengakui itu. Ini aspek konsumsi,” ujar Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu), Suahasil Nazara, Jumat (04/11/2022) dikutip dari Kemenkeu (18/9/2023).
Meski demikian, pemerintah tidak menutup mata dengan berbagai kemungkinan dan risiko yang ada. Wamenkeu, Suahasil Nazara bahkan telah memproyeksikan timbulnya peningkatan jumlah rokok ilegal dengan adanya kebijakan tersebut. Di tahun 2022, peredaran rokok ilegal telah mencapai 5,5%.
“Jadi penting kita melakukan mitigasi yang berkelanjutan atas kebijakan yang punya potensi mendorong hasil tembakau yang sifatnya illegal, dari yang diproduksi bukan dari yang benar, diproduksi lalu kemudian menggunakan tidak menggunakan pita cukai, ada juga yang pakai pita cukai tapi pita cukainya salah kategori, serta ada juga yang kandungannya kemudian tidak sesuai dengan syarat-syarat,” kata Wamenkeu.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merilis data jumlah Barang Hasil Penindakan (BHP) berupa rokok ilegal yang beredar di Indonesia, hasil grafik menunjukkan jumlah rokok ilegal selalu mengalami kenaikan sejak 2019.
Tahun 2019, sebanyak 6.327 penindakan telah menyita sejumlah 408,6 juta batang rokok. Tahun 2022 merupakan tahun dengan jumlah barang hasil penindakan berupa rokok ilegal terbanyak. Selisih hasil penindakan dengan tahun 2021 mencapai 84,5 juta batang rokok.
Sebanyak 574,4 juta batang rokok ilegal dengan nilai setara Rp548,32 miliar di tahun 2022 berhasil ditindak Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan.
Tahun 2023, petugas Kantor Wilayah (Kanwil) Bea Cukai Jawa Tengah dan DIY (Jateng DIY) berhasil menggagalkan sebanyak 2,6 juta rokok ilegal di jalur distribusi Jawa-Sumatera. Jumlah tersebut diperkirakan memiliki nilai barang mencapai Rp3,34 miliar dan potensi penerimaan negara yang seharusnya dibayar sebesar Rp2,26 miliar.
Penindakan juga terjadi di Kudus, Jawa Tengah. Sebanyak 6,1 juta rokok ilegal dimusnahkan Bupati Kudus, Hartopo. Dengan perkiraan nilai barang rokok tanpa cukai per Mei 2022 hingga Mei 2023 yang mencapai Rp7 miliar lebih, kerugian negara akibat peredaran rokok ilegal ditaksir mencapai Rp4,7 miliar.
Kenaikan biaya cukai rokok yang diberlakukan tiap tahun turut menyumbang pendapatan negara. Tercatat, nilai penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2014 mencapai Rp139,12 triliun. Nilai tersebut meningkat secara drastis dengan nilai penerimaan sebesar Rp218,62 triliun pada 2022. Artinya, nilai penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) selalu mengalami peningkatan seiring dengan biaya cukai yang diterapkan.
Nilai penerimaan tersebut nantinya dialokasikan dalam APBN kepada daerah dengan angka persentase tertentu berdasarkan besaran kontribusi penerimaan cukai hasil tembakau. Adapun Dana Bagi Hasil Cukai (DBHC) ini diharuskan untuk melakukan perbaikan kesehatan, seperti perbaikan Puskesmas dan Posyandu, penanganan stunting, perbaikan kesejahteraan petani dan buruh, serta pemberantasan rokok ilegal.
Penulis: Aslamatur Rizqiyah
Editor: Iip M Aditiya