Mi Instan merupakan salah satu makanan berbahan dasar tepung dan gandum yang mengedepankan fungsi utama kepraktisan dan telah dirancang dengan sedemikian rupa oleh produsen, sehingga konsumen tinggal menyajikannya dengan mudah. Makanan ini akrab dikenal di Indonesia dengan berbagai macam kegunaan, mulai dari pengganjal perut hingga asupan utama yang mudah dimasak.
Bahkan, beberapa merek mi instan asal Indonesia tak hanya menjadi favorit bagi masyarakat lokal, tapi juga mancanegara. Sebut saja Indomie, Supermi, hingga Mie Sedaap yang saat ini sering diekspor ke beberapa negara, khususnya di benua Asia dan Afrika.
Namun, perang yang terjadi di Ukraina/Rusia digadang-gadang akan membuat harga serta pasokan mi instan terganggu karena gandum sebagai bahan dasar mi instan yang diimpor dari berbagai negara, khususnya Ukraina dan Rusia sebagai penyuplai terbesar di dunia akan turut menghambat proses produksinya.
Berdasarkan hal tersebut, lembaga survei Jakpat membuat laporan survei terkait respons masyarakat Indonesia terhadap isu kenaikan harga mi instan tersebut. Laporan survei tersebut dirilis pada Rabu (24/8) dan diikuti oleh 1.206 responden dari seluruh Indonesia.
"Baru-baru ini, ada pernyataan tentang harga mi instanyang mungkin bisa naik tiga kali lipat karena perang Rusia-Ukiraina yang mencegah negara-negara ini mengekspor produksi gandum mereka. Apa pendapat masyarakat Indonesia tentang hal ini?" tulis Jakpat dalam deskripsi pengantar laporan surveinya.
"Dalam laporan ini, Jakpat akan memaparkan pendapat 1.206 responden Jakpat tentang hal ini dan apa yang akan mereka lakukan sebagai konsumen mi instan jika hal itu benar-benar terjadi," terang Jakpat.
Mayoritas masyarakat Indonesia rutin mengonsumsi mi instan
Dalam laporannya, Jakpat turut memaparkan temuan survei mengenai dinamika mi instan dan masyarakat Indonesia, khususnya terkait perilaku masyarakat dalam mengonsumsi mi instan. Salah satunya, Jakpat menemukan data terkait frekuensi rata-rata masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi mi instan.
Dari sini ditemukan data yang mendukung bahwa mi instan sudah erat kaitannya dengan masyarakat Indonesia, yakni angka konsumsi mi instan yang tinggi di masyarakat. Hal tersebut dibuktikan dari angka konsumen mi instan keras atau fanatik yang berada di angka 64 persen.
Konsumen mi instan fanatik dideskripsikan Jakpat sebagai konsumen yang mengonsumsi mi instan sebanyak dua kali sepekan atau lebih. Angka ini disebut menarik, karena mayoritas masyarakat Indonesia mengonsumsi mi instan lebih dari dua kali dalam sepekan.
Lebih lanjut, terdapat 32 persen masyarkat Indonesia yang disebut sebagai konsumen reguler. Konsumen reguler merupakan sebutan bagi konsumen mi instan yang mengonsumsi sebanyak dua sampai tiga kali dalam sebulan. Hanya terdapat empat persen masyarakat yang mengonsumsi mi instan sekali sebulan atau kurang.
"Mayoritas responden mengonsumsi mi instan beberapa kali dalam seminggu, yang kemudian kemi sebut sebagai konsumen yang fanatik. Hanya 4 persen yang mengonsumsi mi instan sebulan sekali atau kurang," tulis Jakpat dalam laporan surveinya.
Tingkat konsumsi mi instan masyarakat Indonesia sering dikaitkan dengan waktu malam dan hujan
Selain itu, Jakpat juga memaparkan temuan survei mengenai waktu paling sering bagi masyarakat Indonesia mengonsumsi mi instan. Hasilnya, 61 persen atau mayoritas masyarakat Indonesia mengonsumsi mi instan ketika sedang menginginkannya.
Lebih lanjut, tingkat konsumsi masyarakat Indonesia terhadap mi instan juga sering dikaitkan dengan waktu malam dan waktu hujan. Hal tersebut dibuktikan dengan 48 persen responden yang sering mengonsumsi mi instan di waktu malam dan 47 persen responden lainnya mengonsumsi mi instan ketika hujan.
45 persen masyarakat Indonesia juga sering menjadikan mi instan sebagai pilihan makanan ketika tidak ada waktu untuk memasak serta 22 persen responden juga menyetujuinya ketika sedang terburu-buru. Kemudian, 27 persen responen juga menyebut mi instan sebagai kudapan yang sering disantap sebelum waktu makan tiba.
Waktu-waktu lain masyarakat Indonesia dalam mengonsumsi mi instan antara lain karena tergoda oleh iklan (18 persen), di tempat wisata (16 persen), untuk sarapan (15 persen), ketika bepergian (13 persen), untuk sahur (10 persen), dan untuk bekal makan siang (9 persen).
"Sebagian besar responden makan mi instan hanya ketika mereka menginginkannya, mi instan dikatikan dengan waktu larut malam dan hari hujan. Hal ini juga berkorelasi dengan keterbatasan waktu, karena kepraktisannya, mi instan lebih banyak dikonsumsi ketika orang tidak punya waktu untuk memasak," jelas Jakpat.
Penulis: Raihan Hasya
Editor: Iip M Aditiya