Indonesia menerapkan skema proporsi perempuan dalam daftar calon legislatif dari suatu partai sekurang-kurangnya 30% dari jumlah total anggota. Ketentuan ini telah diatur dalam Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang berbunyi,
“Setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.”
Peraturan tersebut dibuat agar proporsi keterwakilan perempuan dalam kursi pemerintahan tidak mengalami ketimpangan yang cukup besar. Ketetapan tersebut diharapkan dapat memperbesar peluang keterpilihan perempuan di parlemen.
Sayangnya, angka 30 persen yang diatur itu belum pernah bisa dicapai hingga saat ini. Salah satu penyebabnya, keberadaan 30 persen calon legislatif perempuan dalam partai dinilai hanya sekadar memenuhi kuota, tetapi peluang keterpilihan mereka tidak benar-benar diperjuangkan. Perempuan, mayoritas berada di nomor bawah, yang otomatis mengurangi kemungkinan terpilih.
Badan Pusat Statistik (BPS) dan CEIC mencatat, persentase keterlibatan perempuan di parlemen sebesar 21,89% pada 2021. Angka ini naik 0.8 % dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 21,09%. Sementara itu, jika dibandingkan dalam satu dekade terakhir, persentasenya naik 25%. Jumlah keterlibatan perempuan pada tahun 2011 hanya sebesar 17,49%.
Peningkatan jumlah perempuan di Indonesia menunjukkan tren yang cukup baik. Data World Bank tahun 2020 mengungkapkan Indonesia menduduki peringkat ke-6 di Asia Tenggara berdasarkan proporsi jumlah keterwakilan perempuan di parlemen. Posisi tersebut mengalami kenaikan satu tingkat dari tahun 2019 yang menduduki urutan ke-7.
Sementara itu, merujuk pada data World Economic Forum dalam publikasinya Global Gender Gap Report 2023, tingkat kesenjangan perempuan dalam ranah parlemen di Indonesia mencapai 27,6% dari 100%. Semakin rendah persentase, semakin besar tingkat kesenjangan dalam suatu negara.
Angka tersebut membuat ranking kesenjangan di Indonesia cukup buruk, yakni posisi ke-89 dari 146 negara di dunia. Sementara itu, level kesenjangan Indonesia di wilayah Asia Tenggara menempati posisi ke-5.
Di wilayah ASEAN, proporsi jumlah perempuan di ranah parlemen belum ada yang mencapai 50%. Dalam data tersebut, lebih lanjut diungkapkan, proporsi jumlah laki-laki dan perempuan dalam parlemen di Indonesia ialah 78,40% dan 21,60%.
Perbandingan tersebut cukup kontras dengan Timor-Leste yang keterlibatan perempuannya dalam parlemen mencapai 40%. Ini artinya, kesenjangan gender bidang politik di Timor-Leste paling kecil se-ASEAN. Kesetaraan tersebut didukung dengan pengangkatan Maria Fernanda Lay sebagai Ketua Parlemen Nasional (PN) periode 2023-2028. Maria menjadi Ketua Parlemen Nasional (PN) perempuan pertama di Timor-Leste.
Sedangkan, keterlibatan perempuan di parlemen Vietnam mencapai 30,30%. Di negara tersebut, untuk terus mendongkrak keterlibatan perempuan, Vietnam menerapkan Strategi Kesetaraan Gender jangka waktu 2021-2030. Dalam strategi tersebut ditetapkan target bahwa pada tahun 2025, 60% lembaga negara dan pemerintah daerah harus memiliki perempuan pada posisi pemimpin utama. Target tersebut meningkat menjadi 75% pada tahun 2030.
Beralih ke negara lain, keterlibatan perempuan dalam parlemen di Singapura mencapai 29,10%, di Filipina sekitar 27,30%, dan Laos 22%.
Sebagai informasi, Selandia Baru menduduki negara dengan tingkat keterlibatan perempuan di ranah parlemen mencapai 100%. Ini artinya, proporsi perempuan di sana seimbang dengan laki-laki. Jumlah perempuan yang menjadi anggota parlemen di negara tersebut ialah 60 orang, sedangkan laki-laki berjumlah 59. Jumlah ini disebut-sebut sebagai sejarah baru bagi Selandia Baru.
Kemajuan signifikan telah dicapai dalam hal keterwakilan perempuan di daerah pemerintah secara global. Pada tahun 2013, anggota parlemen yang merupakan perempuan hanya 18,7%. Jumlah ini terus meningkat hingga menjadi 22,9% di tahun 2022.
Per Desember 2022, sekitar 27,9% dari populasi global atau setara 2,12 miliar orang, tinggal di negara-negara dengan kepala negara perempuan.
Penulis: Aslamatur Rizqiyah
Editor: Iip M Aditiya