Berbagai kebijakan pemerintah yang berdasar pada pembangunan berkelanjutan semakin masif digalakkan. Tidak hanya sebagai slogan, prinsip ekonomi hijau dan ekonomi biru kini menjadi panduan yang jelas bagi pemerintah dalam menerapkan peraturan.
Ekonomi hijau merupakan program pemerintah yang berfokus pada pertumbuhan ekonomi yang kuat dengan mengurangi angka kemiskinan, memastikan keselarasan inklusi sosial, serta proteksi lingkungan dengan mengefisiensikan sumber daya agar kelestarian alam dapat terjaga. Intinya, ekonomi hijau berfokus pada pertumbuhan ekonomi yang ramah lingkungan dan tetap menjaga kelestarian alam.
Sementara itu, ekonomi biru merujuk pada definisi Bank Dunia ialah pemanfaatan sumber daya laut yang berwawasan lingkungan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, dan mata pencaharian, sekaligus pelestarian ekosistem laut. Intinya, ekonomi biru berfokus pada pembangunan ekonomi berkelanjutan di sektor kelautan.
Ekonomi biru merupakan konsep yang berupaya mewujudkan keseimbangan antara dua aspek yang terkait dalam ekosistem kelautan yaitu ekologi dan ekonomi.
Program ekonomi biru berkaitan erat dengan pilar Sustainable Deveopment Goals (SDGs) ke-14 tentang ekosistem lautan yang berbunyi, “Melestarikan dan Memanfaatkan Secara Berkelanjutan Sumber Daya Kelautan dan Samudera”. Konsep ekonomi biru Indonesia dilandasi oleh potensi laut Negara Kepulauan Republik Indonesia sehingga perlu pelestarian sumber daya laut yang akan berdampak pada cadangan sumber pangan yang berkelanjutan.
Selain itu, berdasarkan data dari BPS, Indonesia merupakan negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia sekaligus menjadi produsen perikanan terbesar kedua di dunia. Indonesia memiliki potensi sumber daya laut yang melimpah sebagai salah satu bahan pokok untuk mengaplikasikan program ketahanan pangan nasional.
Menurut The Food and Agriculture Organization (FAO) 2022, pada tahun 2020, sepuluh produsen teratas yang menyumbangkan lebih dari 50 persen dari total kelautan adalah Cina, yaitu sekitar 15%, diikuti oleh Indonesia dengan hasil produksi sekitar 8,2%.
Meskipun Indonesia menjadi negara dengan produksi hasil kelautan yang cukup besar, Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia membuat Keputusan Nomor 19 Tahun 2022 tentang Estimasi Potensi Sumber Daya Ikan, Jumlah Tangkapan Ikan yang Diperbolehkan (JTB), dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik.
Dalam keputusan tersebut, masyarakat Indonesia hanya diperbolehkan mengambil jumlah tangkapan sebesar 8,6 juta ton per tahun dari total sumber daya sebanyak 12,01 juta ton setiap tahunnya.
Meski peraturan pembatasan tersebut ditetapkan sejak 2022, nilai ekspor pada tahun tersebut bahkan hampir sama dengan nilai ekspor tahun sebelumnya yang mencapai 5,71 miliar dolar Amerika.
Selama bertahun-tahun, udang menjadi komoditas ekspor hasil perikanan yang memiliki nilai ekspor tertinggi. Hal ini juga didukung dengan banyaknya volume produksi yang mencapai 1 juta ton. Akan tetapi, nilai ekspor udang mengalami penurunan dari tahun 2021 yang menghasilkan hingga 2 miliar dolar AS. Tahun 2022, produksi udang hanya menghasilkan sekitar 1 miliar dolar AS.
Sementara itu, produksi tuna, cakalang, dan tongkol mengalami kenaikan nilai ekspor di tahun 2022 dari 732 juta menjadi 865 juta dolar AS. Rumput laut juga mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari 345 juta dolar AS menjadi 554 dolar AS.
Potensi Indonesia Jadikan Bali sebagai Tuan Rumah KTT AIS Forum Pertama
Melihat berbagai potensi kelautan di Indonesia, pulau Bali akhirnya dipercaya untuk menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi Archipelagic and Island States (KTT AIS) Forum yang dilaksanakan 10-11 Oktober 2023 mendatang.
KTT AIS Forum merupakan ide dan inovasi yang digerakan oleh Indonesia dengan melihat tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan, seperti perubahan iklim, pengembangan potensi ekonomi biru, permasalahan konektivitas, pemberdayaan masyarakat pesisir, dan pencemaran laut.
“Indonesia dilihat memiliki banyak praktik terbaik. Kita tidak ingin menyimpannya hanya untuk kebutuhan sendiri, tapi kita ingin melakukan gerakan global dimana solusi atas permasalahan negara pulau dan kepulauan bisa kita gerakan dari seluruh dunia. Harapannya gerakan ini jadi lebih masif dan akhirnya negara kepulauan dan kepulauan dapat menghadapi tantangan bersama-sama,” jelas Asisten Deputi Delimitasi Zona Maritim dan Kawasan Perbatasan, Kemenko Marves Sora Lokita, Rabu (9/8), dikutip dari Maritim.go.id.
KTT AIS Forum pertama ini nantinya akan bertujuan untuk mengatasi permasalahan global dengan 4 area pertama: mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, ekonomi biru, penanganan sampah plastik di laut dan tata kelola maritim yang baik.
Penulis: Aslamatur Rizqiyah
Editor: Iip M Aditiya