Konser musik semakin menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Antusiasme terhadap konser terlihat dari banyaknya acara musik yang digelar dan dihadiri oleh berbagai kalangan.
Di tengah maraknya gelaran konser musik yang semakin variatif, partisipasi penonton di Indonesia menunjukkan tren yang cukup positif. Dalam beberapa tahun terakhir, partisipasi masyarakat dalam mengikuti konser tidak hanya menjadi bentuk hiburan, tapi juga bagian dari pengalaman.
Untuk mengetahui partisipasi masyarakat dalam mengikuti konser dan pertunjukan, KedaiKOPI melakukan survei bertajuk Survei Opini Publik Tentang Hak Cipta dan Manajemen Royalti Pada Musik dan Lagu yang melibatkan 1.065 responden dari berbagai kelompok usia dan tempat tinggal pada 27 Maret – 4 April 2025, melalui metode Computer Assisted Self Interview (CASI).
Partisipasi masyarakat dalam menghadiri konser dan pertunjukan musik di Indonesia tercatat cukup tinggi, yakni mencapai 85,6%, meskipun masih terdapat 14,4% responden yang belum pernah menghadiri konser. Lebih dari sekadar menikmati musik, konser menawarkan pengalaman sosial yang lebih dalam, seperti yang diungkapkan Alexander Refsum Jensenius, seorang peneliti dari Universitas Oslo sekaligus CEO RITMO.
“Konser mampu menciptakan ikatan sosial yang kuat, bahkan di antara orang-orang yang sama sekali tidak saling mengenal. Sebagai makhluk sosial, manusia cenderung mencari pengalaman di mana rasa kebersamaan itu tumbuh secara alami,” ujarnya pada Jumat (10/1/2025), mengutip laman Phsy.
Selain kebutuhan sosial, keingintahuan juga menjadi alasan penting publik ingin mengikuti konser. Menikmati, menyaksikan pertunjukan secara langsung menjadi salah satu motivasi lain publik menghadiri konser yang dapat memberikan kedekatan dan energi emosional.
Dengan kata lain, konser bukan hanya tentang menikmati musik, melainkan tentang menjadi bagian dari energi kolektif, momen kebersamaan, dan rasa terhubung yang tidak bisa didapatkan dalam bentuk digital.
Seberapa Sering Publik Menikmati Konser?
Sebagian besar responden, yaitu 57,7%, menonton konser kurang dari tiga kali dalam setahun. Ini menunjukkan bahwa bagi mayoritas orang, menonton konser bukanlah aktivitas yang sering dilakukan. Ada beberapa kemungkinan penyebabnya, seperti keterbatasan waktu, harga tiket yang cukup tinggi, atau experience yang kurang didapatkan.
Sementara itu, 31,3% responden menonton konser sekitar tiga hingga enam kali dalam setahun. 6,8% responden menghadiri konser tujuh hingga sepuluh kali dalam setahun seperti penggemar berat atau orang-orang yang terlibat dalam komunitas musik tertentu yang sering menghadiri konser.
Hanya 2,5% responden yang menonton konser lebih dari sepuluh kali dalam setahun. Ini menunjukkan bahwa pengunjung konser yang sangat aktif jumlahnya relatif kecil, dan kemungkinan terdiri dari mereka yang memiliki minat sangat tinggi, waktu luang yang lebih banyak, atau bahkan yang bekerja di bidang terkait musik.
Di sisi lain, 1,5% responden mengaku tidak pernah menonton konser dalam setahun terakhir. Ini bisa jadi karena kurangnya minat, kendala finansial, atau lokasi tempat tinggal yang jauh dari akses konser, dan yang terakhir, ada 0,2% responden yang tidak memberikan jawaban.
Secara keseluruhan partisipasi publik dalam konser terbilang cukup besar, namun frekuensi bagi sebagian besar orang masih tergolong rendah.
Lebih Suka Nonton Konser di Luar Negeri
Kemudahan akses, bebas visa, venue konser yang modern, nyaman, terhubung dengan transportasi publik, dan manajemen acaranya sangat tertib menjadi alasan kebanyakan orang lebih suka menonton konser di luar negeri.
Salah satunya Singapura, yang berhasil menjadi pusat konser internasional di Asia Tenggara. Capaian ini merupakan hasil dari strategi jangka panjang pemerintah Singapura yang secara aktif membangun reputasi negaranya sebagai destinasi hiburan global.
Pemerintah setempat mempermudah perizinan bagi promotor dan artis, menyediakan infrastruktur kelas dunia, serta mendukung promosi besar-besaran yang menarik minat musisi top seperti Taylor Swift dan Coldplay. Hasilnya, tiket konser di Singapura ludes terjual dalam hitungan menit, bahkan banyak penggemar dari negara tetangga seperti Indonesia, Malaysia, dan Filipina ikut berburu tiket.
Penggemar dari negara tetangga tak jarang menyuarakan kekecewaan mereka karena konser besar hanya digelar di Singapura, bukan di negara mereka. Hal ini sering kali dipicu oleh regulasi yang lebih rumit, infrastruktur yang kurang memadai, atau dukungan pemerintah yang belum sekuat Singapura.
Tantangan dan Hambatan dalam Penyelenggaraan Konser
Dilansir dari KompasTV dalam siaran live "Izin Konser Indonesia, Ruwet!" (2/7/2024) yang menghadirkan empat narasumber dari berbagai bidang, terdapat tantangan besar dalam penyelenggaraan konser di Indonesia, di antaranya sebagai berikut.
1. Proses Perizinan yang Rumit dan Tumpang Tindih
Penyelenggaraan konser di Indonesia membutuhkan izin dari berbagai pihak, mulai dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, kementerian/lembaga terkait, pemerintah daerah, kepolisian, hingga imigrasi. Sayangnya, proses perizinan ini sering kali tumpang tindih, sehingga membuat para promotor mengalami kendala.
“Harus diakui penyelenggaraan event di Indonesia belum siap seperti yang diharapkan baik dari sisi kebijakan maupun teknis itu masih menjadi kendala terutama bagi promotor,” ungkap Rustam Efendi selaku Sesdep Bidang Koord Parekraf Kemenko Marves.
2. Biaya Tinggi dan Risiko Besar
Selain rumit, mengurus izin konser juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
“Penyelenggara harus mengalokasikan dana besar untuk administrasi, jaminan keamanan, asuransi, dan bahkan biaya diplomatik, terutama untuk konser artis asing," tutur Dino Hamid selaku Ketua APMI
Jika izin keluar terlambat atau tidak disetujui, risiko kerugian finansial menjadi sangat besar bagi pihak yang terlibat. Hal ini membuat promotor berpikir dua kali untuk membawa artis internasional ke Indonesia.
3. Peluang Besar Jika Sistem Diperbaiki
Meski perizinan konser di Indonesia saat ini dinilai rumit dan mahal, peluang pengembangan industri hiburan di tanah air sebenarnya sangat besar. Jika pemerintah mampu menyederhanakan proses perizinan melalui sistem yang terintegrasi dan digital, Indonesia bisa menjadi salah satu destinasi utama konser internasional.
Mohammad Dian Revindo dari LPEM FEB UI mengungkapkan, pemerintah dapat memperbaiki ekosistem ekonomi kreatif dengan membangun gedung pertunjukan di setiap kota dan kabupaten, serta memasukkan ekonomi kreatif ke dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah.
Dari sisi swasta, khususnya perbankan, perlu membangun kepercayaan dan pemahaman bisnis ekonomi kreatif melalui edukasi risiko, seperti yang diterapkan di negara maju dengan skema subsidi bunga dan pembiayaan yang ramah. Dukungan non-fiskal juga penting, seperti mempermudah akses bagi pekerja seni dan pelaku industri kreatif.
"Pelaku ekonomi kreatif didominasi oleh anak muda yang mencari pengalaman. Tabungan mereka umumnya digunakan untuk traveling atau menonton konser, sehingga penting untuk mengembangkan lebih banyak aktivitas menarik bagi mereka. Seharusnya, peluang ini dilihat oleh pemerintah untuk mendorong perputaran ekonomi," ujar Cipta Wahyana, wartawan senior KONTAN.
Hal ini tentu akan berdampak positif pada pariwisata, meningkatkan devisa negara, serta membuka lebih banyak lapangan kerja di sektor industri kreatif. Namun, tantangan yang harus dihadapi adalah membenahi koordinasi lintas lembaga dan memangkas birokrasi yang selama ini menjadi hambatan utama.
Baca Juga: Apa Alasan Utama Orang Indonesia Datang ke Konser Musik?
Penulis: Chika Maulida T
Editor: Editor