Menanggapi kasus perceraian yang tinggi di Indonesia, Kementerian Agama RI berencana mengeluarkan program kursus bagi calon pengantin selama satu semester. Program ini dinilai menjadi upaya untuk mencegah perceraian, karena memberikan bekal pernikahan pada para calon pengantin.
Pada 2023, ada 463.654 kasus perceraian dari 1.577.255 pernikahan di Indonesia. Meskipun lebih rendah dari kasus pada 2022, angka tersebut masih menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun-tahun terdahulu.
Setidaknya sejak 2019, angka pernikahan di Indonesia menurun. Akan tetapi, jumlah perceraian justru cenderung meningkat.
Sebelumnya, sudah ada program bimbingan pranikah, yaitu Bimbingan Perkawinan Calon Pengantin yang dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama tingkat kecamatan.
Bimbingan pranikah ini bersifat wajib dan menjadi salah satu syarat calon pengantin untuk mendapatkan buku nikah. Akan tetapi, pelaksanaannya hanya berlangsung selama 16 jam pelajaran, terbagi dalam dua hari.
Selain metode tatap muka, program ini dapat dilakukan secara virtual. Kemudian, ada pula pilihan untuk bimbingan pranikah mandiri selama 4 jam di KUA. Para calon pengantin akan mendapatkan buku sebagai pembimbingnya.
Melihat Faktor Terbesar Perceraian
Data Badan Pusat Statistik memperlihatkan bahwa perselisihan dan pertengkaran terus menerus jadi alasan terbanyak terjadinya perceraian. Selain itu, beberapa alasan lainnya juga banyak dialami pasangan yang bercerai.
Menurut Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surabaya, M. Febriyanto Firman Wijaya, program bimbingan pranikah sudah sesuai dengan kondisi saat ini.
“Oleh karena itu, program pembekalan calon pengantin dari Kemenag sangat penting untuk membantu pasangan muda mempersiapkan diri untuk membangun rumah tangga yang harmonis dan bahagia,” tutur Riyan, pada situs resmi UM Surabaya.
Program ini perlu diintegrasikan dengan materi mengenai komunikasi efektif, kematangan emosional, serta kesepakatan mengenai nilai dan ekspektasi dalam pernikahan.
Selain itu, program bimbingan juga perlu menelusuri faktor-faktor lain yang berpengaruh pada kualitas pernikahan. Di antaranya adalah pendidikan, kesehatan mental, dan pengalaman.
Tercermin pada Indeks Ketahanan Keluarga Indonesia
Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mengungkapkan, Indeks Ketahanan Keluarga (IKK) pada 2023 mencapai skor 77,64. Nilainya sedikit meningkat dari tahun 2022 dengan skor 76,73.
Baru ada 18 provinsi yang mencapai skor IKK di atas skor nasional. Lima provinsi teratas adalah Bali dengan skor 81,49; Jakarta dengan skor 80,57; DIY 80,39; Kepulauan Bangka Belitung 79,64; dan Kalimantan Timur 79,48.
IKK disusun oleh beberapa dimensi penilaian, yaitu dimensi kualitas legalitas-struktur (KLS), dimensi kualitas ketahanan ekonomi (KKE), dimensi kualitas ketahanan fisik (KKF) dimensi kualitas ketahanan sosial psikologi (KKSP), dan dimensi kualitas ketahanan sosial budaya (KKSB).
Dimensi KLS di antaranya dilihat dari kepemilikan surat nikah, kepemilikan akta kelahiran, dan apakah anggota keluarga tinggal dalam satu rumah.
Untuk dimensi KKE, penilaiannya adalah memiliki rumah, penghasilan tetap per bulan, tabungan, dan asuransi kesehatan. Indikator lainnya adalah istri juga bekerja serta tidak ada anak yang putus sekolah.
Dimensi KKF, melihat kemampuan keluarga untuk mengonsumsi makanan dengan lengkap, tidak memiliki penyakit kronis atau menyandang disabilitas, tidak memiliki masalah gizi, ruang tidur terpisah antara orang tua dan anak, tidak ada anak yang merokok, dan tidak ada yang sakit hingga meninggalkan aktivitas.
Kemudian, dimensi KKSP dicirikan dengan tidak ada kekerasan antar orang tua dan anak, tidak ada yang berhadapan dengan kasus hukum, melakukan kegiatan bersama orang tua, serta berekreasi bersama keluarga.
Terakhir, dimensi KKSB dicirikan dengan tidak ada anak (di bawah umur) yang dinikahkan, orang tua mengajarkan pola hidup sehat dan bersih, terlibat dalam kegiatan sosial, ikut kegiatan keagamaan, orang tua mengawasi anak dalam bermedia sosial, serta anak yang memberi perhatian dan perawatan pada orang tua usia lanjut.
Baca Juga: Tidak Hanya Pertengkaran, Judi & Mabuk Juga Jadi Alasan Banyaknya Perceraian di Indonesia
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor