Kebebasan Pers RI 2023: Skor Indeks Stagnan, Kekerasan terhadap Jurnalis dan Media Makin Masif Terjadi

Temuan Reporters Without Borders (RSF) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di tahun lalu menggambarkan ruang kebebasan pers di Indonesia yang kian terancam.

Kebebasan Pers RI 2023: Skor Indeks Stagnan, Kekerasan terhadap Jurnalis dan Media Makin Masif Terjadi Ilustrasi wartawan yang sedang mewawancarai narasumber | Freepik

Reduksi atas ruang kebebasan pers masih menjadi isu utama di berbagai belahan dunia. Jurnalis dan media masih sering dihadapkan pada serangkaian ekses yang mengancam bahkan mencederai hak kebebasan persnya.

Menurut data Reporters Without Borders atau Reporters Sans Frontières (RSF), di bulan pertama tahun ini saja, tercatat ada 5 kasus kematian dan 17 kasus penahanan jurnalis di seluruh dunia yang berkaitan dengan aktivitas jurnalismenya.

Selain itu, riset RSF di tahun lalu juga menunjukkan bahwa sebanyak 7 dari 10 negara di dunia masih memiliki iklim kebebasan pers yang “buruk”, merefleksikan maraknya aksi represif terhadap jurnalis dan media di negara-negara tersebut.

Hal ini juga ditemukan RSF terjadi di Indonesia. Dalam laporannya di tahun lalu, RSF mengkategorikan tingkat kebebasan pers Indonesia berada di situasi “sulit”, bersama dengan 41 negara lainnya.

Dari 180 negara yang disurvei, Indonesia menempati urutan ke-108 berdasarkan skor Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang dirilis RSF tahun 2023.

Meski posisinya naik dari peringkat ke-117 di tahun sebelumnya, skor yang diperoleh Indonesia tahun lalu masih lebih rendah dari capaian di tahun 2013-2021.

Selain itu, IKP Indonesia juga masih cenderung stagnan dan belum mampu keluar dari kategori “sulit” yang ditempati setidaknya dalam 10 tahun terakhir.

Perlu diketahui, RSF menilai tingkat kebebasan pers berdasarkan 5 indikator, yakni politik, hukum, ekonomi, sosial-budaya, dan keamanan.

Pada IKP 2023, Indonesia mencatatkan skor terendah pada indikator ekonomi, imbas banyaknya jurnalis yang di-PHK sebagai dampak persaingan perusahaan media di era disrupsi digital serta bagian dari efek lanjutan pandemi.

Skor terendah juga diperoleh Indonesia pada indikator keamanan, cermin dari tindakan intimidasi hingga kekerasan yang masih terus dialami jurnalis dan media akibat pemberitaannya.

Dalam laporan lainnya yang dirilis Aliansi Jurnalis Independen (AJI), menunjukkan setidaknya ada 89 kasus serangan dan hambatan terhadap jurnalis dan media di Indonesia sepanjang tahun 2023. Jumlah ini merupakan yang terbanyak dalam 10 tahun terakhir.

Menurut Laporan Situasi Kebebasan Pers 2023 oleh AJI, ada 83 individu dan 5 kelompok jurnalis, serta 15 media yang mengalami tindakan represif sepanjang 2023.

Kasus teror, intimidasi, dan ancaman menjadi yang terbanyak dengan 26 kasus. Berbeda dengan temuan AJI di tahun 2022 di mana jumlah kasus terbanyak berupa kekerasan fisik dan perusakan alat kerja.

Adapun kasus kekerasan fisik di tahun lalu menjadi yang terbanyak kedua dengan 18 kasus, diikuti serangan digital sebanyak 14 kasus, dan larangan liputan 10 kasus.

Selain itu, AJI juga mendokumentasikan 5 kasus kekerasan seksual yang dialami jurnalis perempuan di tahun lalu. Salah satunya, kasus pelecehan verbal yang menimpa jurnalis perempuan dari sejumlah media nasional saat meliput di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juni 2023.

Kemudian berdasarkan topik liputannya, jumlah kekerasan tertinggi dialami jurnalis atau media yang mewartakan isu-isu terkait akuntabilitas dan korupsi, sebanyak 33 kasus. Diikuti liputan terkait isu-isu sosial dan kriminalitas 25 kasus, serta isu lingkungan/konflik agraria sebanyak 14 kasus.

Tak hanya tindakan represif yang dialami jurnalis dan media, ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia juga dapat terlihat dari adanya serangan kepada narasumber berita. AJI mencatat ada 4 kasus kriminalisasi dan gugatan perdata terhadap 5 narasumber berita sepanjang tahun lalu.

Berkaca pada sejumlah agenda besar di Tanah Air yang akan berlangsung tahun ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) AJI, Ika Ningtyas pun menilai tantangan yang dihadapi jurnalis dan media Indonesia akan semakin besar.

Selain Pemilihan Umum (Pemilu) 14 Februari, kebebasan pers di Indonesia juga akan diuji ketika menyongsong agenda Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November.

Menurut Ika, besarnya skala Pilkada di akhir tahun nanti berpotensi memberikan kerentanan bagi media dan jurnalis, khususnya di tingkat lokal.

“Ini menjadi pilkada yang terbesar di dunia, ini akan memberikan kerentanan bagi jurnalis lokal, terutama yang akan meliput integritas pilkada nantinya,” kata Ika di acara Peluncuran Laporan Situasi Kebebasan Pers 2023, yang disiarkan di kanal YouTube AJI, Rabu (31/1).

Untuk itu, Ika berharap media dan jurnalis bisa meningkatkan kerja sama dan tetap tangguh di tengah situasi politik dalam negeri yang memanas.

“Karena situasi politiknya semakin tidak mudah, ini membutuhkan kerja sama, resiliensi kita bareng-bareng,” ujarnya.

Penulis: Raka B. Lubis
Editor: Editor

Konten Terkait

Survei GoodStats: Benarkah Kesadaran Masyarakat Akan Isu Sampah Masih Rendah?

Survei GoodStats mengungkapkan bahwa 48,9% responden tercatat selalu buang sampah di tempatnya, 67,6% responden juga sudah inisiatif mengelola sampah mandiri.

Dukungan Presiden di Battle Ground Pilkada Jawa Tengah

Bagaimana elektabilitas kedua paslon di Jawa Tengah hingga membutuhkan dorongan besar Presiden RI?

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook