Dukungan terhadap perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia kerja masih banyak menghadapi berbagai tantangan. Perempuan berhadapan dengan perilaku yang tidak nyaman di lingkungan kerja seperti kesenjangan gaji, jumlah cuti yang kurang, godaan secara verbal (catcalling) bahkan kesempatan yang tidak sama untuk naik jabatan. Jumlah karyawan perempuan yang lebih banyak dibanding laki-laki tidak menjamin kesempatan dan dukungan yang sama dari perusahaan.
“Diskriminasi di dunia pekerjaan terhadap perempuan sedikit ada kemajuan meskipun cenderung stagnan di wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Walaupun ada aturan yang melibatkan perempuan namun infrastruktur dan juga dukungan sumber daya tidak mencukupi. Oleh karena itu perlu menciptakan ekosistem kerja yang berkeadilan bagi perempuan termasuk pemahaman mengenai cuti-cuti khusus yang berhak didapatkan perempuan,” ujar Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam forum diskusi Denpasar 12 seperti yang dikutip dari MetroTV, Kamis (6/3/2025).
Tidak Hanya dari Laki-laki
Melansir survei yang dilakukan oleh Populix (2024) kepada 424 responden yang mayoritas diwakili Gen Z dengan status pekerja kantoran sebanyak 76% responden dan pengusaha 24% responden, diperoleh fakta menarik bahwa perempuan mengalami diskriminasi dari rekan kerja sesama perempuan, terutama melalui ekspresi yang tidak sopan dan komentar yang merendahkan.
“Jika ada jokes yang menyinggung, korban harus membuat batasan pada diri sendiri, saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Korban perlu berani bilang stop, saya tidak suka kamu ngomong seperti itu. Korban harus berusaha merubah pemikirannya dalam menghadapi kata-kata negatif yang selama ini membuat dirinya tidak nyaman; misalkan bilang ke diri sendiri bahwa kata-kata itu tidak akan melukai saya, saya akan lebih kuat. Ketika upaya asertif belum berhasil, korban juga perlu menentukan batasan tentang kapan dan kemana mencari bantuan,” kata ahli Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental UNAIR Margaretha yang dirilis pada laman berita UNAIR, Rabu (28/2/2024).
Diskriminasi dari rekan kerja perempuan pastinya memiliki dampak negatif yang besar terhadap produktivitas kerja. Berdasarkan survei, 42% responden menyatakan perlakuan yang tidak nyaman berpengaruh signifikan terhadap produktivitas dan 16% responden menyatakan tidak berpengaruh. Mayoritas 54% responden memilih untuk menghindari konflik ketika memperoleh perlakuan tidak nyaman dan 39% berani untuk menghadapi pelaku. Sisanya sebanyak 7% responden mencari bantuan dari pihak lain.
Perusahaan terutama bagian SDM harus lebih peduli dalam penerapan aturan dan kebijakan mengenai perundungan dan perlakuan yang tidak nyaman di lingkungan kerja. Kepemimpinan yang bijaksana juga diperlukan untuk melihat isu kesetaraan gender dengan lebih adil serta sistem pelaporan yang aman bagi korban. Kebanyakan korban masih memendam dan takut untuk melapor yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental.
Baca Juga: Tingkat Partisipasi Pekerja Perempuan ASEAN 2025, Indonesia Nomor Berapa?
Penulis: Faizza Fontessa
Editor: Editor