Kurang dari satu bulan lagi masyarakat Indonesia akan melakukan pemilihan umum, tepatnya di tanggal 14 Februari 2024.
Pemilu ini merupakan pemilu serentak, dimana masyarakat yang termasuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) akan memilih secara langsung pasangan calon presiden dan wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Dewan Perwakilan Daerah.
Pemilihan presiden dan wakil presiden kali ini diikuti oleh tiga paslon yaitu Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (01), Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (02), serta Ganjar Pranowo dan Mahfud MD (03).
Sementara itu, dalam pemilihan legislatif 2024 terdapat setidaknya 18 partai politik nasional serta 5 partai politik regional untuk masyarakat di Aceh yaitu PNA, Gabthat, PDA, PA, PAS Aceh, dan SIRA.
Menjadi menarik karena pada pemilu kali ini, pemilih muda di rentang usia 17 hingga 40 tahun menjadi pemilih yang mendominasi. Dari data yang dirilis oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 106.358.447 jiwa pemilih muda, yang mencakup sekitar 52% dari total angka pemilih.
Dari total pemilih muda, sebanyak 66.822.389 orang (33,60%) merupakan pemilih dari kalangan Milenial, sementara sebanyak 66.822.389 orang (22,85%) merupakan pemilih dari kalangan Generasi Z.
Dari data tadi, para pasangan calon presiden dan wakil presiden serta pelaku kampanye di bagian legislatif berlomba-lomba untuk memenangkan hati anak muda, yang diharapkan akan menjadi kantong suara baru pada Pemilu 2024 kali ini. Berbagai strategi harus memperhatikan kesukaan dan ketidaksukaan pemilih muda, termasuk untuk kalangan Gen Z.
Gen Z paling tidak suka baliho, spanduk, dan bendera partai
Sebuah survei dilakukan oleh Jajak Pendapat (Jakpat) bertajuk The Public’s Perspectives On Political Campaigns. Dalam rilis tersebut, didapatkan hasil bahwa sebanyak 70% dari responden Gen Z menyatakan memiliki poin minus pada keadaan penempatan baliho serta spanduk yang tidak resmi.
"Penerapan atribut kampanye juga mempengaruhi persepsi responden. Hal ini terlihat dari Generasi Z, Milenial, dan Generasi X yang sepakat bahwa penempatan billboard dan spanduk tidak resmi merupakan jenis kampanye yang paling mereka tidak sukai," tulis Jakpat dalam rilisnya.
Selain baliho dan spanduk tidak resmi, Gen Z juga tidak suka pemasangan bendera partai di beberapa tempat (48%), parade beratribut kampanye (41%), berbagi atribut kampanye (28%) serta kegiatan mengunjungi berbagai tokoh masyarakat untuk meminta dukungan.
Kegiatan sosial, publikasi digital, hingga diskusi disukai Gen Z
Selain poin negatif, terdapat pula rilis mengenai hal yang bersentimen positif bagi Gen Z terhadap berbagai kampanye politik selama Pemilu 2024.
Data lanjutan dari Jakpat menyatakan bahwa mayoritas responden Gen Z mengaku paling suka kegiatan sosial (62%) serta kampanye secara langsung (59%). Hal ini dikarenakan Gen Z lebih suka pendekatan yang lebih praktikal dan dialogis, serta menunjang sisi kritis mereka.
Pendekatan berbasis digital juga menjadi nilai plus. Adanya unggahan digital seperti melalui saluran televisi, radio digital, podcast atau siniar, unggahan video di YouTube, dan hal lainnya menggugah Gen Z dalam berbagai kampanye politik.
"Seperti yang diharapkan, publikasi digital menarik perhatian Gen Z'" tulis rilis tersebut.
Di publikasi survei yang lain, Head of Social Research Populix Vivi Zabkie menyatakan bahwa Gen Z selalu mengharapkan sosok pemimpin yang memiliki visi kuat, nerintegritas, serta berkemampuan problem solving yang baik.
"Mereka cenderung enggan terikat dengan organisasi atau komunitas politik tertentu. Pemimpin ideal menurut pandangan mereka adalah sosok yang netral, pro-rakyat, dan mampu menjadi perintis terobosan baru dan positif, utamanya yang berdampak langsung kepada anak muda," kata Vivi dalam Antara.
Penulis: Pierre Rainer
Editor: Iip M Aditiya