Pada tanggal 11–15 November 2024 lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bekerja sama dengan PT. Freeport Indonesia melakukan pengamatan ‘salju abadi’ di Puncak Sudirman, Pegunungan Jayawijaya, Papua.
Hasil pengamatan menunjukkan adanya penyusutan yang signifikan. Saat ini, luas area salju yang tersisa tinggal 0,11–0,16 km2. Hal ini disampaikan oleh Koordinator Bidang Standardisasi Instrumen Klimatologi BMKG, Donaldi Sukma Permana.
“Tahun ini kita lakukan survei lagi yang pada intinya melihat penurunan tebal es dari tahun ke tahun kian menipis. Hasilnya terjadi penurunan luas permukaan es yang sangat signifikan dan kita berusaha mendokumentasikan kepunahan es di Papua karena kita sudah dalam tahap sulit mempertahankannya lagi,” ungkap Donaldi, dikutip dari keterangan resmi.
Donaldi juga memprediksi bahwa salju abadi ini akan lenyap sebelum tahun 2026. El Niño, fenomena iklim yang diakibatkan oleh pemanasan permukaan air laut, ditengarai menjadi penyebab utamanya.
"Ini mengkhawatirkan, kita sudah memprediksi ini sejak 2019. Dengan adanya El Niño, itu bisa mempercepat pencairan es. Waktu itu kita memprediksi mungkin sebelum 2026 esnya akan hilang," ungkap Donaldi, dilansir South China Morning Post.
Salju di Puncak Jayawijaya ini menjadi satu-satunya gletser tropis yang tersisa di area West Pacific Warm Pool (WPWP), atau perairan hangat di sebelah barat Samudra Pasifik yang letaknya berada di garis khatulistiwa.
Puncak Jayawijaya sendiri memiliki ketinggian 4.884 mdpl, dan merupakan puncak tertinggi di Indonesia. Puncak ini sekaligus masuk ke dalam daftar 7 puncak tertinggi di dunia.
Dulu Setara 2.759 Lapangan Sepak Bola, Kini Susut Setara 15 Lapangan
Pada tahun 1850, total luas lapisan es di Puncak Jayawijaya diperkirakan mencapai 19,7 km2 atau setara dengan 2.759 lapangan sepak bola. Sumber lain mengatakan estimasi total luasnya berada di rentang 17–32 km2.
Perkiraan luas ini didapatkan dari hasil ekstrapolasi tingkat penurunan luas area yang terjadi pada tahun 1936 sampai 1972. Tahun 1820–1850 juga diperkirakan menjadi titik mulai dari penurunan luas area permukaan salju.
Tingkat penurunan luas area pada periode 1850–1936 adalah 0.07 km2 per tahun. Kemudian naik pada periode 1936–1942 menjadi 0,16 km2 per tahun. Nilai penurunan luas tertinggi terjadi pada periode 1972–1974 dengan tingkat penurunan sebesar 0,35 sampai 0,45 km2 per tahun.
Menurut Kincaid et al. (2004), percepatan tingkat penurunan yang terjadi pada periode 1972–1974 tidak sepenuhnya mewakili kondisi anomali yang terjadi. Melainkan, hal ini disebabkan oleh data laju pada periode 1972–1974 didasarkan pada analisis citra Landsat yang menghasilkan resolusi kasar sehingga mengurangi akurasi hasil pengukuran. Selain itu, pengukuran rata-rata pada periode lainnya juga memiliki rentang waktu yang lebih panjang.
Memasuki awal abad ke-21, luas area salju yang tersisa tinggal 2,33 km2, atau setara dengan 326 lapangan sepak bola. Luas permukaan salju telah berkurang sebanyak 88%. Selama tahun 2002 hingga 2015, permukaan salju telah berkurang sebanyak 1,45 km2 atau setara dengan pengurangan sebanyak 0,11 km2 per tahun.
Pada tahun 2015–2016, terdapat peristiwa El Niño yang cukup ekstrem sehingga menambah jumlah area yang hilang sebesar 0,11 km2 hanya dalam kurun waktu kurang dari 1 tahun. Pada Maret 2018, permukaan salju yang tersisa tinggal 0,46 km2.
Data pengukuran terbaru mencatat luas area permukaan salju pada tahun 2021 tinggal tersisa 0,27 km2. Jumlah ini terus mengalami pengurangan hingga pada tahun 2022, luas salju yang tersisa tinggal 0,23 km2.
Kondisi saat ini, berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada November 2024, luas permukaan salju telah berkurang hampir setengah dari pengamatan terakhir, yaitu menjadi 0,11–0,16 km2, atau setara dengan luas 15 lapangan sepak bola. Luas permukaan salju telah hilang sebanyak 95% dari kondisi awalnya pada tahun 1850.
28 Meter Salju telah Hilang dalam 14 Tahun
Selain luas permukaan, perubahan salju di Puncak Jayawijaya juga diukur dari ketebalannya. Pengukuran ketebalan salju dimulai sejak Juni 2010. Pengukuran dilakukan menggunakan stakes yang terbuat dari rangkaian pipa Polyvinyl Chloride (PVC) berukuran 2 meter yang saling terhubung menggunakan tali. Stakes ditanam hingga dasar lapisan es yang berupa bebatuan. Perubahan ketebalan salju diamati dari panjang stake yang tersingkap.
Saat kunjungan pertama pada November 2015, 2 segmen pipa dan tali bagian atas mulai tersingkap. Jika dijumlahkan, telah terjadi pengurangan ketinggian sebesar 5,06 meter dengan laju pengurangan sebesar 1,05 meter setiap tahun sejak 2010.
Kunjungan berikutnya dilakukan pada Mei 2016. Hanya terpaut 6 bulan dari kunjungan pertama, ketebalan es telah berkurang sebanyak 4,26 meter. Pengurangan ini sekaligus menjadi yang terbesar selama proses pengukuran berlangsung. Hal ini diakibatkan oleh El Niño yang sangat kuat sepanjang tahun 2015–2016. Pengukuran berikutnya dilakukan pada November 2016 dan ketebalan kembali berkurang sebanyak 1,43 meter hanya dalam selang 6 bulan.
Pengukuran selanjutnya dilakukan pada Februari 2021. Hasilnya, ada 11 segmen pipa yang tersingkap, atau pengurangan ketebalan sebanyak 23,46 meter. Laju pengurangan menjadi 2,05 meter per tahun apabila dihitung sejak 2016, meningkat 2 kali lipat apabila dibandingkan dengan laju pengurangan sebelum El Niño 2015–2016 berlangsung.
Ketebalan salju terus menurun. Pada Desember 2022, ketebalan salju hanya tersisa 6 meter. Pengurangan terus berlanjut hingga pengamatan terakhir pada Desember 2023, terdapat 14 segmen yang tersingkap. Ketebalan salju hanya tersisa 4 meter.
Bukti Nyata Perubahan Iklim
Donaldi mengatakan bahwa penyusutan ini merupakan bukti nyata dari perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Pemanasan global telah mengubah ketinggian daratan yang dibutuhkan oleh hujan untuk bertransformasi menjadi salju. Ketinggian 4.800 meter tidak lagi cukup untuk memunculkan salju. Di sisi lain, air hujan yang menetes di permukaan salju juga mempercepat proses pencairan.
"Seiring es yang mencair, batu hitam yang sebelumnya tertutup es sekarang mulai kelihatan. Batu hitam ini menyerap lebih banyak panas. Jadi, esnya nggak cuma dipanaskan oleh atmosfer, tapi juga oleh batu-batu tempat es itu menempel," kata Donaldi.
Donaldi juga mendorong pemerintah Indonesia supaya belajar dari kepunahan ‘salju abadi’ ini. Ia berharap adanya intervensi yang lebih cepat dalam menanggapi perubahan iklim dengan bertransisi ke energi ramah lingkungan dan melakukan reforestasi.
"Lapisan es dan gletser tropis di Papua itu salah satu ciri khas Indonesia. Kalau itu sudah tidak ada, itu akan jadi kehilangan besar buat kita. Kita cuma bisa cerita ke anak-anak kita kalau dulu di sana pernah ada es. Dokumentasi (gletser) jadi penting supaya kita bisa belajar (dari kehilangan ini)," ujarnya.
Baca Juga: Daftar Peristiwa yang Buruk Bagi Iklim, Aktivitas Manusia Mendominasi
Penulis: Yazid Taufiqurrahman
Editor: Editor