Di Balik Penetapan Gibran sebagai Wapres Termuda RI

Gibran resmi menjadi Wapres Termuda RI setelah dilantik pada 20 Oktober 2024 lalu. Walaupun demikian, pencalonannya dipenuhi dengan polemik etika dan hukum.

Di Balik Penetapan Gibran sebagai Wapres Termuda RI Pembacaan Sumpah Wakil Presiden oleh Gibran | YouTube Wakil Presiden Republik Indonesia

Indonesia baru saja melantik presiden dan wakil presiden baru pada 20 Oktober 2024 lalu, yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Prabowo-Gibran resmi tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai presiden tertua dan wakil presiden (wapres) termuda, di mana Prabowo berusia 73 tahun dan Gibran 37 tahun ketika dilantik. Selain itu, selisih usia keduanya pun jadi yang paling jauh dibandingkan dengan presiden dan wapres yang ditetapkan pada periode-periode sebelumnya, yakni selisih 36 tahun.

Namun, di balik penetapan Gibran sebagai wakil presiden termuda tersebut, pencalonannya kala itu penuh dengan kontroversi yang melibatkan polemik etika dan hukum. Kontroversi ini dimulai dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai batas usia minimal pencalonan. MK melakukan uji materi terkait Pasal 169 huruf q Undang-Undang Pemilu.

Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa seseorang yang berusia di bawah 40 tahun dapat menjadi capres atau cawapres selama ia pernah menduduki jabatan negara yang dipilih melalui pemilu, salah satunya pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam konteks ini, Gibran yang sebelumnya menjabat sebagai Walikota Solo dan hingga saat itu masih belum genap berusia 40 tahun, dapat mencalonkan diri.

Menurut Firman Noor, seorang peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), pihak yang paling diuntungkan dari adanya putusan MK ini adalah Gibran karena telah membuka pintu dirinya untuk menjadi cawapres.

“Menjadi naif kalau ini (putusan MK) tidak dikaitkan dengan proses untuk mengegolkan seseorang karena ini satu tarikan nafas sebagai upaya dalam rangka pencapresan. Akhirnya ada nuansa kehidupan demokrasi kita semakin terbajak. Sudah terbajak sama oligarki, sekarang terbajak dengan dinasti politik,” ungkap Firman, melansir BBC.

Ia menambahkan bahwa pihak yang paling dirugikan dari adanya putusan MK ini tentu saja masyarakat akibat terbajaknya sistem demokrasi di Indonesia oleh dinasti politik. Lantas, bagaimana pendapat masyarakat mengenai putusan MK ini?

Pendapat Masyarakat Soal Putusan MK Tentang Batas Usia Capres-Cawapres

Lembaga Survei Indonesia (LSI) telah menghimpun data melalui survei yang dilakukan pada 16-18 Oktober 2023 lalu, pasca MK baru saja menetapkan putusan mengenai batas usia capres-cawapres tersebut. Survei dilakukan dengan melibatkan 1.229 responden yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah.

Menurut hasil survei, mayoritas masyarakat tidak mengetahui informasi terkait putusan MK tersebut. Adapun data selengkapnya dapat dilihat pada infografik berikut.

Pengetahuan Masyarakat Soal Putusan MK
Mayoritas responden tidak mengetahui soal putusan MK mengenai perubahan batas usia capres/cawapres | GoodStats

Baca Juga: Sah Dilantik, Prabowo Jadi Presiden Tertua dan Gibran Wapres Termuda dalam Sejarah Pemerintahan Indonesia

Berdasarkan data di atas, sebanyak 62,8% responden yang disurvei masih belum mengetahui informasi mengenai putusan MK berkaitan dengan batas usia capres/cawapres tersebut. Sementara itu, hanya 37,2% responden yang mengetahuinya.

Selanjutnya, dari 37,2% responden yang tahu informasi mengenai putusan MK tersebut, sebanyak 48,3% setuju, 42,7% lainnya tidak setuju, dan 9% lainnya tidak tahu atau tidak menjawab. Sementara itu, dari total seluruh responden, 46% setuju dengan putusan MK tersebut serta 39,3% kurang setuju dan 14,7% lainnya tidak tahu atau tidak menjawab. 

Ini artinya, jumlah masyarakat yang setuju atau tidak setuju, baik dari seluruh responden maupun yang tahu putusan MK, cukup seimbang. Adapun data selengkapnya dapat dilihat pada infografik berikut.

Pendapat Masyarakat Soal Putusan MK
Jumlah responden yang setuju dan tidak setuju relatif seimbang | GoodStats

Tertolaknya Gugatan PDIP oleh PTUN

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) secara konsisten telah mengawal pencalonan Gibran sejak 2 April 2024 dengan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) dengan nomor perkara 133/G/TF/2024/PTUN.JKT.

Sidang pertama dari gugatan ini dilangsungkan pada 30 Mei 2024. PDIP menuntut KPU untuk membatalkan pencalonan Gibran serta mengajukan permintaan kepada PTUN agar menunda penetapan hasil pemilihan presiden dan wakil presiden sampai gugatan PDIP diputuskan.

Akan tetapi, proses sidang ditunda hingga 10 Oktober 2024 karena Joko Setiono, Ketua Majelis Hakim, yang tidak dapat hadir karena sakit. Berdasarkan peraturan yang berlaku, Ketua Majelis Hakim tidak bisa digantikan sehingga putusan pun diundur.

Melansir Tempo, Ketua Tim Hukum PDIP Gayus Lumbuun mengatakan bahwa gugatan yang dilayangkan PDIP tersebut tidak ada kaitannya dengan sengketa proses atau hasil Pilpres 2024, melainkan ini merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Anggota Tim Hukum PDIP Dave Surya juga menambahkan bahwa gugatan ke PTUN ini berbeda dari sengketa Pilpres 2024 ke Mahkamah Konstitusi yang juga sempat diajukan. Menurut Dave, KPU telah melakukan kelalaian dengan menerima pencalonan Gibran tanpa mengubah peraturan mengenai batas usia kandidat.

Saat itu, peraturan KPU masih mengharuskan calon presiden atau wakil presiden berusia minimal 40 tahun. Ketua KPU Hasyim Asy’ari kala itu tidak melakukan perubahan atau revisi peraturan setelah adanya putusan MK Nomor 90/PPU-XXI/2023 mengenai ketentuan tambahan berkaitan dengan batas usia capres/cawapres. Walaupun demikian, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah memberikan sanksi kepada Hasyim dan jajarannya.

Gugatan PDIP pada akhirnya ditolak pada 24 Oktober 2024 secara elektronik melalui e-court. PDIP juga dikenakan hukuman untuk membayar denda sebesar Rp324.000. Menurut hasil putusan, pencalonan Gibran sebagai wapres dinyatakan sah oleh majelis hakim. Menyikapi putusan ini, PDIP menyatakan bahwa mereka menghormati proses hukum yang berlaku.

“Tentu kami, tim, menghormati. Menghormati karena memang semua putusan hakim sudah harus diterima dan dihormati,” ungkap Gayus pada jumpa pers di Kantor DPP PDI Perjuangan, mengutip AntaraNews.

Walaupun menerima putusan tersebut, beberapa kejanggalan juga diungkapkan oleh PDIP, salah satunya mengenai penundaan sidang putusan karena hakim yang sakit. Jika tidak ditunda, seharusnya gugatan tersebut dapat diputuskan sebelum pelantikan presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2024 lalu.

Baca Juga: Apa Masalah Mendesak yang Harus Diselesaikan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran?

Penulis: Elvira Chandra Dewi Ari Nanda
Editor: Editor

Konten Terkait

Pindad Maung Jadi Mobil Dinas Kabinet Baru, Bagaimana Nasib Kendaraan Listrik di Indonesia?

Prabowo usulkan Pindad Maung sebagai kendaraan dinas menteri, berbeda dengan pemerintah sebelumnya yang mendorong penggunaan kendaraan listrik.

Bakal Penuhi Standar WHO, Jumlah Dokter di Indonesia Masih Tidak Merata

Jumlah dokter di Indonesia mencapai 287,3 ribu dokter. Angka ini masih berpusat di daerah Indonesia bagian barat dengan total 236 ribu dokter.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook