Kekurangan gizi masih menjadi masalah utama di dunia, terutama terkait dengan stunting pada anak-anak. Keberhasilan pembangunan suatu negara sangat bergantung pada bagaimana mereka mempersiapkan generasi penerusnya, tidak hanya dari kuantitas semata, melainkan juga kualitas.
Menurut WHO, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya berada di bawah standar.
Lantas, bagaimana kondisi permasalahan gizi di Indonesia khususnya stunting?
Penurunan Prevalensi Stunting Selama 10 Tahun Terakhir
Hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 mencatat prevalensi stunting sebesar 21,5% dan telah terjadi penurunan selama 10 tahun terakhir (2013-2023). Angka tersebut mengindikasikan bahwa dari 100 anak di Indonesia, terdapat hampir 22 anak mengalami stunting.
Grafik diatas menunjukan angka prevalensi stunting pada sepuluh provinsi di atas rerata nasional. Tiga provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Papua Tengah (39,4%), Nusa Tenggara Timur (37,9%) dan Papua Pegunungan (37,3%).
Di Papua Tengah tercatat pada setiap 100 anak terdapat 39 anak mengalami stunting. Di Nusa Tenggara Timur dan Papua Pegunungan, terdapat sekitar 37 anak mengalami stunting di setiap 100 anak.
Sementara itu, sekitar 27 hingga 31 per 100 anak mengalami stunting di tujuh provinsi lainnya. Angka prevalensi pada kesepuluh provinsi tersebut secara keseluruhan masih di atas ambang batas normal. Menurut World Health Organization (WHO), prevalensi balita stunting menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih.
Pengaruh Pola Makan terhadap Stunting
Pola makan gizi seimbang telah digaungkan oleh ahli kesehatan guna memenuhi kebutuhan akan gizi, terutama pada anak-anak. Gizi seimbang paling tidak memenuhi 3 makronutrien penting yang dibutuhkan oleh tubuh yaitu karbohidrat, protein, dan lemak serta vitamin mikronutrien yang tercukupi.
Pola makan yang tidak seimbang dapat menyebabkan tumbuh kembang anak tidak optimal. Terutama pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Jika dilihat dari rata-rata pengeluaran komoditas makanan per kapita dalam seminggu, masyarakat Indonesia tercatat sering mengonsumsi makanan dan minuman jadi.
Diungkapkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluarannya mencapai Rp55.744 per kapita per minggu, melebihi konsumsi lainnya terutama konsumsi untuk sumber karbohidrat dan protein. Konsumsi padi-padian sebagai salah satu sumber karbohidrat berada pada urutan kedua, nilainya mencapai Rp22.083 per kapita per minggu.
Pada tahun 2024, telah dirilis hasil penelitian dengan judul Analisis Faktor Pola Makan pada Balita Stunting dengan Pendekatan Transcultural Nursing.
Penelitian ini dilakukan oleh perwakilan dari Universitas Airlangga menggunakan metode penelitian Cluster sampling digunakan untuk penelitian cross-sectional ini dengan 145 pasangan ibu-anak. Variabel independen dalam penelitian ini adalah pendidikan ibu, ekonomi, peraturan dan kebijakan, nilai budaya dan gaya hidup, dukungan sosial dan keluarga, religiusitas dan filosofi dan teknologi. Variabel dependen yaitu pola pemberian makanan. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner.
Penelitian tersebut menyatakan bahwa regulasi dan kebijakan, nilai budaya dan gaya hidup, religiositas dan filosofi, dukungan sosial dan keluarga, serta teknologi berdampak pada kebiasaan makan anak stunting. Keyakinan budaya dan gaya hidup merupakan faktor terpenting yang berhubungan dengan pola makan anak stunting.
Meskipun penelitian serupa cenderung langka, namun hasil tersebut menyiratkan bahwa pemberian makanan bergizi pada anak sangat erat hubungannya dalam mengurangi kasus stunting.
Baca Juga: Mampukah Program Makan Bergizi Gratis Prabowo-Gibran Atasi Isu Stunting?
Penulis: Luxia Fajarati
Editor: Editor