Indonesia kembali dihadapkan oleh meningkatnya kasus bunuh diri yang sebagian besar berakar dari masalah kesehatan mental, terutama depresi. Menurut WHO, bunuh diri kini menjadi penyebab kematian ketiga pada kelompok usia 15–29 tahun di dunia. Fenomena ini menunjukkan bahwa tekanan hidup dan stres emosional yang tidak tertangani dapat berkembang menjadi gangguan mental serius yang mengancam nyawa.
Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyebutkan bahwa jumlah remaja Indonesia mengalami gangguan kesehatan mental setidaknya satu kali dalam 12 bulan terakhir dengan presentase 34,9% atau setara dengan 15,5 juta dan 2,45 juta atau setara 5,5% anak muda di Indonesia memiliki setidaknya satu masalah mental, dengan berbagai indikasi seperti gangguan cemas, fobia sosial, dan depresi mayor.
Hasil Survei Kesehatan Mental
Berdasarkan hasil survey SKI tahun 2023 5,5% remaja di usia 10-17 tahun mengalami gangguan kesehatan mental dengan prevalensi depresi tertinggi pada usia 15-24 tahun yakni pada angka 2%. Kasus remaja dengan depresi (1%), cemas (3,7%), post-traumatic stress disorder (PTSD) (0,9%), dan attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) sebanyak 0,5%.
Ironisnya peremuan bahkan mencapai angka depresi yang lebih tinggi lagi pada persentase 1,1%, hampir 2x lebih tinggi dibandingkan angka depresi pada laki-laki yakni sebesar 2,8%. Hal tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor biologis seperti hormon, respons stress tubuh, dan gaya berfikir perempuan yang cenderung lebih sensitive, hingga faktor sosial seperti norma gender dan ekspektasi sosial.
Melansir dokumen WHO berjudul "Depressive Disorder", kasus penderita depresi di dunia diketahui 1,5 kali lebih umum ditemukan pada perempuan dengan 10% dari 332 juta orang di antaranya adalah wanita hamil dan wanita yang baru saja melahirkan. Namun, meskipun perempuan memiliki risiko lebih tinggi terhadap gangguan depresi, laki-laki justru empat kali lebih mungkin melakukan bunuh diri dibandingkan Perempuan.
Salah satu laporan pada tahun 2016 mencatat, angka bunuh diri standar usia global adalah 13,7 per 100.000 untuk laki-laki dan 7,5 per 100.000 untuk perempuan, dengan rasio perbandingan 1,8:1 dan kemungkinan rasio yang lebih seimbang pada negara berpendapatan menengah kebawah. China, Lesotho, Morocco dan Myanmar menjadi satu-satunya negara dengan rasio bunuh diri seimbang antara laki-laki dan perempuan. Menggambarkan tekanan sosial dan ekonomi yang lebih tinggi di negara tersebut, dibandingkan wilayah-wilayah lainnya.
Jika dilihat melalui status pekerjaannya, anak muda dengan profesi buruh, sopir dan pembantu rumah tangga serta pengangguran menduduki peringkat pertama penyandang depresi terbanyak dengan jumlah 2,3%, hal tersebut bisa disebabkan oleh upah yang tidak menentu, tuntutan pekerjaan yang cukup berat, hingga tuntutan sosial bagi mereka yang tidak memiliki pekerjaan.
Diikuti oleh anak-anak yang masih berstatus sekolah dengan persentase juga cukup tinggi yakni 2,1%, menandakan bahwa perlu adanya kesadaran dalam meningkatkan ruang aman dilingkungan pendidikan. Sebuah studi di Hong Kong terhadap 2.004 remaja dan dewasa muda menemukan bahwa mereka yang terlibat dalam bullying, baik sebagai pelaku, korban, atau keduanya memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengalami pikiran dan perilaku bunuh diri dibandingkan mereka yang tidak terlibat dalam bullying.
Pada urutan ketiga, pegawai swasta dengan jumlah kasus 1,8% turut menyumbang angka besar dalam proporsi anak muda dengan depresi di Indonesia. Diikuti wiraswasta dan profesi lainnya masing-masing sebanyak 1,0%, PNS/TNI sebanyak 0,6%, Petani 0,5% dan yang terakhir nelayan pada tingkat depresi terendah yakni 0,0%.
Pada kategori penyandang depresi berdasarkan status ekonomi, statistik justru menunjukan data yang menarik, dimana anak muda yang berasal dari kalangan teratas justru menunjukan pola depresi yang tinggi sebanyak 2,2% dan hanya 1,8% saja bagi kalangan terbawah. Hal ini menunjukan bahwa depresi dan kurangnya ruang aman, tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi saja, namun bisa juga disebabkan oleh faktor lainnya seperti keharmonisan keluarga, tekanan sosial termasuk ekspektasi yang lebih tinggi, keterasingan sosial dan kesepian, hingga kesadaran diagnosis yang lebih tinggi.
Dengan adanya kemudahan mengakses layanan kesehatan mental bagi kalangan atas, memungkinkan kasus depresi lebih terdeteksi dan tercatat pula. Pernyataan tersebut turut didukung oleh survey I-NAMHS yang mencatat bahwa, hanya sebagian kecil responden yang memanfaatkan fasilitas kesehatan seperti psikolog/dokter spesialis jiwa (2,9%) sebagai upaya menyembuhkan isu kesehatan mental, sedangkan sisanya mencari pertolongan kepada staf sekolah (38,2%), pemuka agama/ketua adat (20,5%) dan lainnya yang tidak tercatat sebanyak 2,6%.
Mengenali Tanda Depresi dan Upaya Mengatasinya
Secara umum, gejala depresi ditandai oleh perasaan sedih berkepanjangan, kehilangan minat terhadap hal-hal yang dulu disukai, gangguan tidur, perubahan nafsu makan, hingga munculnya pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
Di Indonesia, survei Kementerian Kesehatan tahun 2024 mencatat bahwa sekitar satu dari sepuluh remaja mengalami gejala depresi ringan hingga berat. Menariknya, 61% anak muda dengan depresi dalam satu bulan terakhir pernah berpikiran untuk mengakhiri hidup, sementara hanya 1,7% dari mereka yang tidak mengalami depresi melaporkan hal serupa. Angka ini menegaskan bahwa depresi bukan sekadar perasaan sedih, melainkan kondisi serius yang perlu direspons dengan empati dan intervensi tepat.
Penanganan depresi tidak bisa disamaratakan. Dalam kasus ringan, dukungan sosial dari keluarga, teman, atau komunitas bisa sangat membantu proses pemulihan. Namun, pada kasus yang lebih berat, intervensi profesional seperti psikoterapi atau pengobatan medis menjadi langkah yang dibutuhkan. Akses terhadap layanan konseling, baik daring maupun langsung, kini juga semakin luas dan mudah dijangkau oleh anak muda.
Pada akhirnya, memahami depresi bukan hanya tentang mengenali gejalanya, tetapi juga tentang menumbuhkan empati dan keberanian untuk meminta bantuan. Sebab, mencari pertolongan bukan tanda kelemahan, melainkan langkah pertama menuju pemulihan.
Baca juga: Gen Z Dominasi Perokok Indonesia, Vape Jadi Gaya Hidup Baru?
Penulis: Emily Zakia
Editor: Muhammad Sholeh