Indonesia Darurat Gula, Konsumsi Minuman Manis pada Balita Masih Tinggi

Penting bagi semua pihak, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, dan media, untuk bersama-sama meningkatkan kesadaran tentang bahaya minuman manis bagi anak.

Indonesia Darurat Gula, Konsumsi Minuman Manis pada Balita Masih Tinggi Ilustrasi Balita Konsumsi Minuman Manis | Alodokter
Ukuran Fon:

Di tengah meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pola makan sehat, tingginya konsumsi minuman manis justru masih menjadi tantangan besar, terutama pada kelompok usia yang paling rentan, yaitu balita.

Minuman manis, baik yang diproduksi secara rumahan seperti teh manis dan sirup, maupun yang berasal dari produk pabrikan seperti susu kental manis, minuman rasa buah, dan minuman bersoda, kerap kali menjadi bagian dari asupan harian anak-anak.

Tak jarang, minuman ini diberikan tanpa pemahaman yang cukup tentang dampak jangka panjangnya terhadap kesehatan. Fenomena ini tak bisa dianggap sepele. Balita yang rutin mengonsumsi minuman tinggi gula berisiko mengalami berbagai masalah kesehatan, mulai dari obesitas dini, gigi berlubang, hingga gangguan metabolik yang bisa muncul sejak usia dini.

Ironisnya, masih banyak orang tua yang menganggap minuman manis sebagai bentuk kasih sayang atau bahkan sumber energi tambahan bagi anak. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah lama merekomendasikan pembatasan konsumsi gula tambahan, terutama pada anak-anak, untuk mencegah penyakit tidak menular sejak dini.

Di Indonesia, kesenjangan pemahaman mengenai bahaya minuman manis untuk balita masih sangat terasa antar daerah. Banyak provinsi, terutama di wilayah dengan akses terbatas terhadap informasi gizi, masih kurang sadar terhadap isu ini.

Edukasi yang minim, ditambah dengan promosi agresif dari produk minuman kemasan yang kerap menyasar ibu rumah tangga, memperparah kondisi tersebut. Akibatnya, praktik pemberian minuman manis pada balita terus berlangsung dan menjadi budaya yang sulit diubah.

NTT menjadi provinsi dengan persentase balita konsumsi minuman manis tertinggi | GoodStats

Data hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 oleh Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi dengan persentase balita yang paling tinggi mengonsumsi minuman manis, yakni mencapai 30,1%.

Angka ini menunjukkan bahwa hampir satu dari tiga balita di wilayah tersebut rutin mengonsumsi minuman dengan kadar gula tinggi. Fenomena ini bisa mencerminkan rendahnya literasi gizi di tingkat rumah tangga serta masih minimnya intervensi program edukasi gizi dari pemerintah daerah.

Di bawah NTT, Aceh menempati posisi kedua dengan persentase 27,4%, diikuti oleh Papua sebesar 27,1%. Rendahnya akses terhadap informasi kesehatan dan gizi, serta masih kuatnya pengaruh budaya dalam pola pengasuhan, menjadi faktor yang patut diperhatikan.

Papua Barat Daya dan Papua Selatan juga menunjukkan angka yang cukup mengkhawatirkan, masing-masing sebesar 25,7% dan 21,6%. Dengan karakteristik wilayah yang mirip dan tingkat pembangunan yang belum merata, kedua provinsi ini menghadapi tantangan besar dalam penyuluhan gizi dan distribusi makanan sehat yang memadai untuk anak-anak.

Kalimantan Utara mencatat angka 20,3%, menunjukkan bahwa pola konsumsi serupa juga terjadi di pulau Kalimantan. Sementara itu, Sumatra Utara berada di angka 18,1%, yang masih relatif tinggi dan mencerminkan tantangan yang dihadapi wilayah-wilayah di luar Jawa dalam mengontrol konsumsi gula pada anak-anak usia dini.

Beranjak ke provinsi lain, Papua Barat (17,5%), Bali (17,4%), Maluku (17,3%), dan Sulawesi Barat (17,3%) menunjukkan angka yang hampir setara. Fakta ini memperlihatkan bahwa konsumsi minuman manis pada balita bukanlah masalah lokal, melainkan menyebar secara merata ke berbagai pulau besar di Indonesia.

Kalimantan Timur, Jambi, dan Kalimantan Barat masing-masing mencatat angka konsumsi minuman manis balita di kisaran 17,3% hingga 16,9%. Meski sedikit lebih rendah dibanding provinsi-provinsi sebelumnya, angka ini tetap menunjukkan bahwa satu dari enam balita mengonsumsi minuman manis secara rutin.

Terakhir, Maluku Utara berada di posisi ke-15 dengan persentase 16,7%. Meski menjadi provinsi dengan angka terendah dalam daftar ini, bukan berarti Maluku Utara terbebas dari masalah.

Keseluruhan data ini memperlihatkan bahwa konsumsi minuman manis pada balita masih menjadi masalah serius lintas wilayah. Tanpa adanya peningkatan literasi gizi, pengawasan produk makanan dan minuman, serta kampanye yang lebih masif dan terfokus di daerah-daerah dengan angka tinggi, maka risiko gangguan kesehatan jangka panjang pada generasi mendatang akan sulit untuk dicegah.

Survei dilakukan pada balita dengan usia 6–23 bulan yang mengonsumsi minuman manis, baik yang dibuat secara rumahan seperti teh manis dan sirup, maupun produk pabrikan seperti minuman rasa buah dan susu kental manis. Data ini didasarkan pada konsumsi dalam 24 jam terakhir saat survei dilakukan, yang mencerminkan kebiasaan harian yang mengkhawatirkan.

Baca Juga: Awas Diabetes, Konsumsi Minuman Manis pada Gen Z Masih Tinggi

Penulis: Brilliant Ayang Iswenda
Editor: Editor

Konten Terkait

KPK Kembalikan Rp55 Miliar Hasil Lelang Barang Rampasan Korupsi

Sebagian barang sudah terjual hingga Rp40 miliar, sebagian barang mewah lainnya masih belum berpemilik.

Siapa Bilang Kuliah Mahal? Ini Kampus-Kampus Negeri Paling Aksesibel dengan KIP Kuliah

Strategi pemilihan program studi dan perguruan tinggi menjadi sangat penting bagi calon mahasiswa penerima KIP Kuliah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook