Tempo, sebagai salah satu lembaga media terkemuka di Indonesia, sudah tidak asing lagi dengan ancaman dan intimidasi yang mengancam kebebasan pers. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai bentuk teror yang dihadapi jurnalis Tempo menunjukkan betapa rentannya jurnalis terhadap tekanan eksternal, yang sering kali bertujuan untuk membungkam atau menghalangi tugas jurnalistik mereka.
Baca Juga: Ormas & Buzzer Dianggap Paling Mengancam Jurnalis 5 Tahun Mendatang
Bentuk Teror/Ancaman
Teror Kepala Babi dan Tikus
Salah satu insiden yang paling mencolok terjadi pada Rabu, 19 Maret 2025, ketika kantor Tempo di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, menerima sebuah paket berisi kepala babi yang ditujukan kepada Cica, seorang wartawan dari desk politik yang juga menjadi host siniar "Bocor Alus Politik." Paket tersebut diterima oleh petugas keamanan sekitar pukul 16.15 WIB, dan berdasarkan rekaman CCTV, pengirimnya terlihat mengenakan jaket hitam dan helm ojek online, mengendarai sepeda motor matic putih.
Tidak berhenti di situ, empat hari setelah kejadian tersebut, sebuah kotak berisi enam bangkai tikus dibungkus dengan kertas mawar dilemparkan ke halaman kantor Tempo. Ini jelas merupakan bentuk teror terhadap kebebasan pers dan kerja jurnalistik, yang menunjukkan betapa besar tekanan yang harus dihadapi jurnalis dalam menjalankan tugas mereka.
Sebagai respons, Tempo melaporkan kejadian ini ke Mabes Polri pada 21 Maret 2025, dengan pendampingan dari Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), dengan Wakil Pemimpin Redaksi Bagja Hidayat menyatakan bahwa ini adalah teror terhadap kerja jurnalistik dan kebebasan pers secara keseluruhan.
Bentuk Ancaman Lainnya
Pemecahan Kaca Mobil Wartawan Tempo
Selain insiden pengiriman kepala babi dan tikus, jurnalis Tempo juga mengalami teror fisik. Pada 5 Agustus 2024, kaca mobil seorang wartawan Tempo dipecahkan oleh dua orang yang mengendarai motor di dekat rumah dinas Kapolri.
Tak lama setelah itu, pada 3 September 2024, kejadian serupa terjadi di Pos Polisi Kukusan, Beji, Depok, ketika mobil yang terparkir ditemukan dengan kaca pecah, diduga akibat aksi teror yang sama. Meskipun laporan sudah diajukan ke kepolisian, hingga saat ini, kasus-kasus ini masih belum menunjukkan perkembangan yang signifikan.
Pelemparan Bom Molotov ke Kantor Tempo
Teror terhadap Tempo bukanlah hal baru. Pada 6 Juli 2010, kantor Tempo yang saat itu terletak di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, menjadi sasaran pelemparan bom molotov oleh orang yang tidak dikenal. Insiden ini terjadi setelah majalah Tempo menerbitkan laporan investigasi mengenai transaksi keuangan sejumlah perwira kepolisian.
Beberapa hari sebelum pelemparan bom, sejumlah orang berbadan tegap berusaha memborong seluruh majalah yang membahas topik tersebut. Saat kejadian, dua orang yang mengenakan jaket gelap melemparkan bom molotov dari sepeda motor bebek pada pukul 02.40 WIB, dan meskipun ledakan tersebut terdengar keras dan asap mengepul, pelaku tidak pernah terungkap.
Ancaman terhadap Kebebasan Pers di Masa Depan
Berdasarkan data dari TIFA Foundation, ancaman terhadap jurnalis diperkirakan akan meningkat dalam lima tahun ke depan. Bentuk ancaman yang paling sering terjadi adalah pelarangan liputan (56%), pelarangan pemberitaan (51%), dan teror/intimidasi (48%). Data ini menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, ancaman terhadap kebebasan pers akan terus meningkat, dengan persentase yang mencatatkan angka di atas 40%.
Pengumpulan data dilakukan melalui survei pada periode 30 Oktober hingga 6 Desember 2024, melibatkan 760 jurnalis aktif di seluruh Indonesia. Responden terdiri dari 71% laki-laki dan 29% perempuan, dengan mayoritas berpendidikan Diploma/Sarjana (S1) dan bekerja penuh waktu.
Sebagian besar responden bekerja di media online dan meliput berbagai topik, seperti berita umum, politik, ekonomi, dan hukum. Penelitian ini mencerminkan keragaman fokus liputan yang dilakukan oleh jurnalis di Indonesia.
Bentuk-Bentuk Ancaman Jurnalis
Dalam 5 tahun ke depan, bentuk-bentuk ancaman terhadap jurnalis semakin bervariasi, mulai dari ancaman fisik hingga serangan digital. Ancaman yang paling sering terjadi adalah serangan digital (47%) dan penghapusan hasil liputan (46%). Kekerasan fisik (33%), perusakan alat (27%), dan ancaman pembunuhan (14%) menjadi indikasi bahwa ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia tidak dapat dianggap remeh.
Risiko yang Meningkat
Pemeriksaan lebih lanjut terhadap survei yang dilakukan oleh TIFA Foundation menunjukkan bahwa lebih dari 95% responden menganggap profesi jurnalis sebagai profesi yang berisiko. Penilaian ini bukan tanpa alasan. Dalam praktiknya, jurnalis kerap berhadapan dengan berbagai bentuk tekanan, mulai dari ancaman fisik, intimidasi verbal dan psikologis, sensor pemberitaan, hingga kriminalisasi yang sering kali muncul ketika mereka meliput isu-isu sensitif.
Namun, di tengah bayang-bayang ancaman tersebut, para jurnalis tidak tinggal diam. Hasil studi terbaru menunjukkan bahwa sebagian besar jurnalis telah memahami langkah-langkah perlindungan diri yang bisa mereka ambil. Jurnalis Indonesia rata-rata memiliki tingkat pengetahuan yang baik tentang sumber dukungan hukum (dengan nilai rata-rata 7,59), strategi perlindungan diri yang efektif (nilai rata-rata 7,57), serta pemahaman terhadap penggunaan software keamanan untuk melindungi perangkat dan data mereka (nilai rata-rata 7,18).
Menariknya, mayoritas responden juga menilai bahwa strategi perlindungan diri adalah hal yang sangat penting, dengan skor rata-rata 8,04. Aspek lain yang juga mendapat penilaian tertinggi adalah pemahaman terhadap hak-hak sebagai jurnalis—khususnya dalam hal perlindungan hukum maupun dukungan dari organisasi media—yang mencatat nilai rata-rata 8,28.
Baca Juga: Berbagai Liputan Berisiko yang Pernah Dilakukan Para Jurnalis, Apa Saja?
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor