Menurut penelitian yang dilakukan oleh Pantau Gambut bertajuk Dari Konsesi ke Konsekuensi, terdapat enam provinsi yang paling rentan banjir akibat degradasi gambut. Laporan ini mengkaji kerentanan banjir di kawasan Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) Indonesia pada tahun 2025.
Kalimantan Barat menduduki posisi pertama dengan lahan seluas 831.942 hektare yang rentan banjir akibat degradasi lahan gambut. Posisi kedua diisi oleh Kalimantan Tengah dengan 669.529 hektare. Jika diakumulasikan, maka total luas wilayah rentan banjir dari dua provinsi tersebut mencapai 1,5 juta hektare.
Tidak hanya Kalimantan, kerusakan ini juga mengancam Pulau Sumatra. Dari enam provinsi di atas, terdapat tiga provinsi dari Sumatra turut terancam banjir karena kerusakan area gambut. Sumatra Selatan menjadi provinsi dengan area kerentanan terluas di Sumatra yang mencakup hingga 507.584 hektare, diikuti Riau dengan 256.225 hektare, dan Jambi seluas 51.686 Ha.
Lahan gambut di Papua pun turut terancam, terdapat area seluas 57.089 hektare rentan banjir akibat degradasi gambut di Provinsi Papua Selatan.
Apa Itu Lahan Gambut?
Gambut merupakan bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna yang disebabkan oleh kondisi kedap udara (anaero). Proses ini terjadi dalam jangka waktu yang lama, membuat bahan-bahan organik menumpuk dan membentuk sebuah lapisan gambut.
Proses pembentukan lahan gambut memakan waktu yang sangat lama, bisa mencapai ribuan tahun. Lahan ini tercipta dari cekungan air yang sangat luas, kemudian mengalami pendangkalan secara perlahan yang disebabkan oleh tanaman atau tumbuhan yang mati, yang kemudian menumpuk pada lahan tersebut, lalu mengalami pembusukan yang disebabkan oleh tidak adanya udara.
Proses ini terjadi secara berulang, bahan-bahan organik kemudian secara perlahan menutupi cekungan dan tanah organik yang berada di dasar cekungan, secara perlahan membentuk lapisan-lapisan gambut. Biasanya, lahan gambut dapat ditemui di area genangan air, seperti rawa, cekungan sungai, dan daerah pesisir.
Apa Bedanya dengan Tanah Mineral?
Hal yang membedakan tanah gambut dengan tanah mineral pada umumnya adalah unsur pembentuknya. Tanah gambut dibentuk dari akumulasi material organik yang terdekomposisi secara tidak sempurna, sedangkan tanah mineral pada umumnya terbentuk dari proses pelapukan batuan.
Secara porositas, tanah gambut memiliki porositas (berongga) yang tinggi hingga 70-90%, sedangkan tanah mineral hanya berkisar 48-70% saja. Maka dari itu, kemampuan tanah gambut dalam menyerap dan menyalurkan air lebih baik dibandingkan dengan tanah mineral. Tanah gambut bisa menyerap dan menyalurkan air hingga 100-1.300% dari bobot keringnya.
Selain itu, tanah gambut memiliki kemampuan menyimpan karbon yang tinggi, berkisar 18-60%, lebih besar jika dibandingkan dengan tanah mineral yang hanya mampu menyerap karbon sebesar 0,5-5%.
Terus, Kenapa Masih Banjir?
Jika ditelaah, lahan gambut memiliki kemampuan yang baik dalam menyerap air, tetapi kenapa lahan gambut justru rawan banjir? Hal ini disebabkan oleh alih fungsi lahan gambut dan kerusakan yang terjadi di kawasan KHG. Pantau Gambut mengidentifikasi terdapat 243 konsesi Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan sawit yang secara signifikan merusak kawasan hidrologis gambut dan menyebabkan tingginya kerentanan banjir di lahan gambut.
Selain itu, perusahaan perkebunan kayu banyak yang mendapatkan konsesi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Perusahaan ini diberikan izin oleh pemerintah untuk menanam satu jenis komoditas di lahan gambut sebagai bahan baku industri, seperti Eukaliptus dan Akasia sebagai bahan baku herbal dan kertas.
Air yang seharusnya terserap, justru mengalir ke kanal-kanal yang diciptakan oleh perusahaan, yang bertujuan untuk mengeringkan lahan dengan pembalakan hutan dan mengalirkan air keluar dari kawasan hidrologis. Air ini akan mengalir hingga ke aliran sungai terdekat.
Di kawasan gambut yang belum terganggu, ketika terjadi hujan, aliran air akan menyerap dengan sempurna melalui pori-pori pada lahan gambut. Namun, ketika lahan gambut rusak, maka aliran dari hujan tidak akan menyerap ke dalam tanah, melainkan mengalir melalui kanal-kanal dan menjadi limpasan permukaan dalam volume besar yang memicu banjir bandang di area hilir.
Banjir yang disebabkan oleh rusaknya lahan gambut membawa dampak yang merugikan. Hal ini disebabkan oleh karakteristik unik yang dimiliki oleh tanah gambut, dengan kadar PH<4. Air banjir jadi memiliki kadar asam tinggi yang berasal dari material organik penyusun lapisan tanah gambut yang tidak terurai sempurna. Jika terakumulasi terus menerus, maka pertumbuhan tanaman dan ekosistem perairan dapat terganggu.
Baca Juga: Indonesia Peringkat Ke-2 Negara dengan Deforestasi Terbesar
Sumber:
https://pantaugambut.id/publikasi/peluncuran-studi-dari-konsesi-ke-konsekuensi
Penulis: MUSYAFFA AKMAL
Editor: Editor