Burden Sharing BI Dukung Pembiayaan Program Asta Cita: Apa Dampaknya Untuk Indonesia?

Skema berbagi beban bunga SBN oleh BI dan pemerintah demi program prioritas presiden. Kabar baik ataukah mimpi buruk untuk Indonesia?

Burden Sharing BI Dukung Pembiayaan Program Asta Cita: Apa Dampaknya Untuk Indonesia? Presiden Prabowo | Shutterstock
Ukuran Fon:

Burden sharing adalah skema kerja sama antara Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah dalam membagi beban biaya bunga dari penerbitan Surat Berharga Negara atau SBN untuk mendanai program prioritas pemerintah.

Dalam konteks program Asta Cita yang diusung oleh Presiden Prabowo Subianto, burden sharing ini dilakukan sebagai upaya memberikan dukungan finansial melalui pembelian SBN oleh BI di pasar sekunder.

Skema ini berbeda dengan saat pandemi COVID-19, karena pembelian kali ini dilakukan di pasar sekunder, bukan pasar primer. Intinya, BI ikut serta membiayai program pemerintah dengan cara berbagi beban bunga SBN, sehingga biaya beban bunga yang harus ditanggung pemerintah menjadi lebih ringan.

Secara teknis, burden sharing dilakukan dengan memberikan tambahan bunga pada rekening Pemerintah yang ada di BI. Skema ini selaras dengan peran BI sebagai pemegang kas pemerintah, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur hubungan fiskal dan moneter di Indonesia.

Tujuan Burden Sharing untuk Program Asta Cita

Tujuan utama dari burden sharing yang dilakukan oleh BI adalah untuk meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah dalam rangka mendanai program-program ekonomi kerakyatan dalam Asta Cita.

Program Asta Cita sendiri merupakan paket proyek prioritas pemerintah yang bertujuan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, perumahan rakyat, serta mendukung koperasi dan UMKM di pedesaan seperti Koperasi Desa Merah Putih (KDMP).

Dengan adanya skema burden sharing, diharapkan beberapa hal baik dapat tercapai diantarannya yakni beban bunga atas penerbitan SBN dapat dibagi rata antara BI dan Pemerintah, mendorong sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter yang prudent dan tetap menjaga stabilitas ekonomi, dan memberikan ruang fiskal yang lebih luas bagi Pemerintah untuk menjalankan program-program pro-rakyat tanpa menambah tekanan defisit anggaran.

Disamping itu dengan adanya skema ini, diharapkan dapat pula mengurangi risiko kredit dan menahan tingkat suku bunga dari SBN agar program pembiayaan rakyat menjadi lebih terjangkau, hingga mendukung stabilitas perekonomian nasional secara keseluruhan.

Dengan kata lain, langkah ini merupakan bagian dari upaya BI untuk mendukung program pemerintah tanpa harus "cetak uang asta cita" secara tidak terkendali, melainkan melalui mekanisme pembagian beban bunga yang terukur dan diawasi ketat.

Nilai dan Pembagian Burden Sharing

Bank Indonesia sudah melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) untuk program Asta Cita dengan nilai mencapai Rp 200 triliun. Pembelian ini dilakukan di pasar sekunder agar tidak mengganggu mekanisme pasar.

Pembagian beban bunga (burden sharing) dilakukan dengan prinsip pembagian secara rata antara BI dan Pemerintah setelah dikurangi penerimaan dari penempatan dana Pemerintah di lembaga keuangan domestik. Secara rinci pembagian beban bunga adalah sebagai berikut:

Pembagian Beban Bunga | GoodStats

Formula dasar yang digunakan adalah bunga SBN dikurangi penempatan dana Pemerintah di bank, selanjutnya sisa biaya bunga ini dibagi dua untuk masing-masing pihak. Dengan mekanisme ini, BI dan Pemerintah masing-masing menanggung sekitar 50% dari total beban bunga yang terkait dengan pembiayaan program Asta Cita.

Dampak Negatif dari Burden Sharing

Meskipun memiliki banyak tujuan positif, penerapan burden sharing ini juga tidak lepas dari risiko dan dampak negatif yang perlu diwaspadai. Diantara efek samping negatif yang mungkin terjadi yakni yang pertama, adanya risiko inflasi.

Hal ini karena BI secara tidak langsung "mencetak uang asta cita" dengan menambah likuiditas melalui pembelian SBN, hal ini bisa memicu inflasi jika likuiditas beredar terlalu besar tanpa diimbangi dengan produksi barang dan jasa yang memadai.

Yang kedua, buramnya independensi BI yang disebabkan oleh ketergantungan BI terhadap pembiayaan pemerintah, sehingga dapat mengaburkan fungsi BI sebagai otoritas moneter yang independent. Padahal seharusnya dapat menjaga kestabilan harga dan nilai tukar. Skema burden sharing dalam jangka panjang sendiri bisa menimbulkan keraguan terhadap kredibilitas BI di mata investor dan pasar.

Yang ketiga yakni dikenal dengan moral hazard. Dimana Pemerintah mungkin kurang disiplin dalam pengelolaan fiskal karena ada beban bunga yang ditanggung bersama, sehingga risiko pemborosan anggaran dan pembiayaan yang tidak efektif bisa sangat meningkat.

Selanjutnya yakni adanya risiko pada nilai tukar. Kebijakan monetisasi utang ini berpotensi menimbulkan tekanan pelemahan nilai tukar rupiah, terutama jika dipandang sebagai sinyal bahwa pemerintah terlalu bergantung pada pembelian SBN oleh BI.

Dan yang terakhir ialah, adanya risiko penurunan kepercayaan investor, kendati jika skema burden sharing berjalan terus-menerus dan secara berlebihan, potensi penurunan sovereign credit rating dan kepercayaan investor terhadap Indonesia bisa terjadi, sehingga biaya pendanaan negara akan meningkat.

Oleh karena itu, pengawasan yang ketat serta sinergi kebijakan moneter dan fiskal yang berkelanjutan sangat penting untuk memastikan bahwa skema burden sharing ini dapat berjalan efektif tanpa menimbulkan risiko makro ekonomi yang lebih besar.

Penulis: Emily Zakia
Editor: Muhammad Sholeh

Konten Terkait

Survei GoodStats 2025: Mayoritas Masyarakat Masih Ragu pada Polisi

Mayoritas masyarakat pernah mengalami pengalaman buruk dengan polisi, namun tetap menaruh harapan reformasi pelayanan yang lebih bersih, adil, dan humanis.

7 Alasan Produk Lokal Kurang Digemari 2025

Kualitas dan otensitias jadi tantangan utama produk lokal dalam bersaing dengan produk asing.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook