Berdiri dalam Bayang-Bayang Ancaman, Bagaimana Kondisi Kebebasan Pers di Indonesia?

Merilis dalam data dari Reporters Without Borders, indeks kebebasan pers di Indonesia menurun. Bagaimana kondisinya saat ini?

Berdiri dalam Bayang-Bayang Ancaman, Bagaimana Kondisi Kebebasan Pers di Indonesia? Jurnalis Indonesia I Bramanyuro/Shutterstock

Beberapa waktu belakangan media tengah dihebohkan dengan pemberitaan mengenai penahanan seorang jurnalis video asal Jepang sewaktu sedang meliput protes pemerintah militer di Myanmar oleh pasukan keamanan yang tengah berjaga pada Minggu (31/7).

Typ Fone (nama samaran), seorang aktivis Myanmar yang juga seorang ketua kelompok organisasi Yangon Democratic Youth Strike mengatakan, kejadian tersebut terjadi kepada Toru Kubota. Toru yang merupakan seorang pembuat film dokumenter berbasis di Tokyo, ditangkap pada hari Sabtu oleh polisi dengan pakaian preman setelah kehebohan singkat yang terjadi di Distrik Dagon, Yangon Selatan.

"Sepanjang yang kami tahu, ia orang pertama yang ditahan. Tiga lainnya ditahan sekitar pukul 03.30 di terminal bus," sebut Typ Fone, pada Minggu (31/7).

Dakwaan ditahannya Toru Kubota di Myamar merupakan dakwaan melanggar UU imigrasi dan mendorong pembangkangan terhadap militer yang berkuasa, sebut media lokal dan informasi junta, pada Kamis (4/8).

Melalui Reuters, Toru Kubota (26) masuk ke Myanmar dengan visa turis pada 1 Juli 2022, dan kemudian ditangkan 30 hari kemudian saat dirinya tengah meliput kericuhan tersebut. Diketahui, militer Myanmar tengah berada dalam gejolak untuk merebut kekuasaan pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari lalu.

Sejak saat itu kemudian militer berperang menghadapi berbagai kubu, termasuk menindak keras kelompok-kelompok kuat yang bersekutu dengan pemerintah.

Dukungan pembebasan Toru berdatangan dari para kerabat sesama jurnalis di Tokyo. Mereka meminta agar Toru dapat dibebaskan. Merilis VOA Indonesia, ada sebanyak 47 ribu orang telah menandatangani petisi online untuk mendukung pembebasannya.

Bukan kali pertama kasus kekerasan dirasakan oleh para jurnalis di dunia. Hal tersebut semakin menjadi pertanyaan besar bagaimana peran pemerintah akan menangani kebebasan pers?.

Merilis dalam data dari Reporters Without Borders (RSF) menyebut, masih banyak negara-negara yang belum melaksanakan kewajiban perlindungan hak kebebasan pers. Sejak 1 Januari 2022 hingga saat ini, RSF mencatat sebanyak 24 jurnalis dan satu pekerja media terbunuh. Selain itu, terdapat 461 jurnalis dan 19 pekerja media saat ini dipenjara.

RSF: indeks kebebasan pers Indonesia turun

Berbanding terbalik dengan kondisi tersebut, laporan RSF mengatakan, Norwegia masuk peringkat pertama dengan keamanan pers terbaik di dunia dengan perolehan indeks mencapai 92,65 poin.

Indeks kebebasan pers di dunia 2022 I Angelia/GoodStats

Peringkat lima besar dari total 180 negara didominasi oleh negara-negara Nordik, yakni Skandinavia, seperti Denmark (90,27 poin), Swedia (88,84 poin), dan Finlandia (88,42 poin). Sementara itu Estonia mengisi peringkat empat dengan capaian indeks 88,83 poin.

Sementara itu, Indonesia menempati urutan ke-117 pada tahun ini. Indeks Kebebasan Pers di Indonesia turun dari peringkat ke-113 dengan skor 62,20 pada tahun 2021 menjadi 49,27 pada 2022.

Pemeringkatan RSF diukur berdasarkan beberapa indikator, yakni politik, hukum, ekonomi, sosial, dan keamanan.

Hal ini selaras dengan laporan dari Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) yang mencatat masih adanya kekerasan yang menimpa para jurnalis di Indonesia.

Temuan 43 kasus kekerasan jurnalis Indonesia sepanjang 2021

Merilis laporan AJI Indonesia, jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis selama periode 1 Januari - 25 Desember 2021 mencapai 43 kasus, turun 48,8 persen dari tahun sebelumnya yang mencapai 88 kasus.

Jumlah kasus kekerasan terhadap jurnalis 2021 I GoodStats

Jenis kekerasan yang marak terjadi pada tahun 2021 berupa teror dan intimidasi (9 kasus), kekerasan fisik (7 kasus), pelarangan liputan dan ancaman (7 kasus), serangan digital (5 kasus), penuntutan hukum (4 kasus), penghapusan hasil liputan (3 kasus), dan penahanan (1 kasus).

AJI menyebut, para pelaku yang paling banyak melakukan kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh polisi sejumlah 12 kasus. 10 kasus kekerasan dilakukan oleh orang tidak dikenal.

Kemudian, terdapat 8 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat pemerintah, 4 kasus dari pekerja profesional, dan 4 kasus serangan dari warga. Sementara itu, pelaku lainnya juga datang dari kalangan perusahaan, birokrat, jaksa, TNI, dan organisasi masyarakat (ormas) masing-masing 1 kasus.

Jika dilihat berdasarkan sebaran wilayah, kasus kekerasan terhadap jurnalis banyak terjadi di Sumatra Utara (5 kasus), dan DKI Jakarta (4 kasus). Disusul oleh Lampung, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Jawa Timur, dengan masing-masing total 3 kasus.

Meski tren dalam grafik sempat turun pada lima tahun terakhir, hal tersebut tidak mengelakkan bahwa ancaman kekerasan masih menghantui para jurnalis ketika menjalankan pekerjaan di lapangan.

Tidak hanya ancaman kekerasan, kini para jurnalis juga dihadapkan dengan bayang-bayang kebijakan pemerintah yang dapat dengan menghalangi kinerja para jurnalis di lapangan.

Kebebasan pers dan bayang-bayang ancaman

Laporan RSF menilai Indeks Kebebasan Pers dalam lingkup politik di Indonesia yang menurun dipengaruhi dari berbagai faktor.

Jika dilihat dalam konteks politik, Presiden RI Joko Widodo dinilai belum menepati janjinya dalam hal kebebasan pers, terkhusus di wilayah Papua. Wilayah Papua disebut-sebut menjadi "lubang hitam" informasi, yakni kondisi para jurnalis tidak bisa mendapat kebebasan menjalankan tugasnya.

Tidak hanya itu, jurnalis Indonesia juga tengah dihadapkan dengan kemunculan aturan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang akan memberi hukuman penjara bagi para jurnalis atas pencemaran nama baik. Hingga kini aturan tersebut disebut sangat rancu karena pemilihan kata tiap butirnya tidak dijelaskan secara rinci.

Alhasil, hal tersebut dapat dengan mudah melanggengkan tindakan para pelaku untuk menghapus informasi, dan juga memudahkan tindakan kriminalisasi kepada wartawan atas tuduhan pencemaran dan penghinaan.

Dalam konteks ekonomi, masih banyak ditemukan beberapa jurnalis dipecat dan juga memotong 20-30 persen gaji karyawan karena kondisi pandemi.

Jika dilihat dari konteks sosial, pemberitaan mengenai topik - topik LGBT, kemurtadan, dan pernikahan anak di bawah umur masih dianggap tabu.

Sementara itu, dalam konteks keamanan, jurnalis yang melakukan investigasi kasus korupsi lokal masih sering dihadapkan dengan intimidasi dari aparat keamanan.

==

Mari menjadi bagian responden survei GoodStats mengenai "Preferensi Fashion Masyarakat Indonesia" dengan mengisi link survei berikut.

bit.ly/FesyenGoodstats

Hadiah saldo eMoney bagi responden terpilih

Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya

Konten Terkait

Anggaran Makan Siang Gratis Terus Menurun, Yakin Indonesia Sudah Siap?

Anggaran makan siang gratis di AS capai setengah miliar dolar, beberapa negara lain pun memiliki sumber pendanaan yang pasti. Bagaimana dengan Indonesia?

DI Yogyakarta Menjadi Provinsi dengan Prevalensi Skizofrenia Tertinggi

Ironisnya, sebanyak 6,6% pengidap skizofrenia pernah dipasung. Pengidap skizofrenia RI lebih banyak berasal dari status ekonomi terbawah.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

Dengan melakukan pendaftaran akun, saya menyetujui Aturan dan Kebijakan di GoodStats

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook