Suhu Udara Lampaui Batas 1,5°C pada 2024, Perjanjian Paris Gagal?

Kenaikan suhu udara global tahun 2024 mencapai 1,6°C, dan telah melewati ambang batas Perjanjian Paris. Apakah ini pertanda bahwa Perjanjian Paris telah gagal?

Suhu Udara Lampaui Batas 1,5°C pada 2024, Perjanjian Paris Gagal? Dokumentasi Kesepakatan Perjanjian Paris saat COP21 di Paris (12/12/15) | Arnaud Bouissou/American Foreign Service Association

Tahun 2024 tercatat menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah manusia modern. Kenaikan suhu udara permukaan global pada tahun 2024 mencapai 1,6°C, sehingga 2024 ditetapkan sebagai tahun pertama pada kalender yang melampaui batas 1,5°C—yaitu batas yang disepakati dalam Perjanjian Paris.

“Setiap tahun dalam dekade terakhir termasuk dalam sepuluh tahun terpanas yang pernah tercatat. Saat ini, kita berada di ambang melewati batas 1,5ºC yang ditetapkan dalam Perjanjian Paris, dan rata-rata suhu dalam dua tahun terakhir sudah melampaui tingkat tersebut,” ungkap Samantha Burgess, pimpinan strategis European Centre for Medium-Range Weather Forecasts (ECMWF), dikutip dari situs resmi Copernicus Climate Change Service (C3S).

Peningkatan Suhu Udara Permukaan Global dari Masa Praindustri Sejak Tahun 2000
Kenaikan suhu pada tahun 2024 telah melebihi Ambang Batas Perjanjian Paris | Goodstats

C3S mencatat bahwa pada tahun 2024, suhu rata-rata global mencapai 15,10°C. Jumlah ini 0,12°C lebih tinggi dari tahun 2023—yang sebelumnya tercatat sebagai tahun terpanas. Selisih kenaikan suhu juga meningkat sebesar 1°C dari kenaikan suhu pada tahun 2000. Seluruh perbandingan kenaikan suhu ini didasarkan pada rata-rata suhu sebelum masa praindustri (1850–1900).

Menurut C3S, aktivitas manusia tetap menjadi faktor utama yang mendorong terjadinya kenaikan suhu secara ekstrem ini. Aktivitas manusia yang berkontribusi secara signifikan adalah pembakaran batu bara, minyak bumi, dan gas bumi dalam skala besar. Aktivitas tersebut menghasilkan gas rumah kaca yang terus terakumulasi di atmosfer.

"Seiring dengan terus bertambahnya gas rumah kaca yang terakumulasi di atmosfer, suhu terus meningkat, termasuk di lautan. Akibatnya, permukaan air laut terus naik, gletser dan lapisan es terus mencair," lanjut Samantha, dikutip dari Aljazeera.

Tidak hanya itu, alasan lainnya yang berkontribusi pada peningkatan suhu adalah terjadinya pemanasan di laut. Sebuah artikel dalam jurnal Advances in Atmospheric Sciences menunjukkan bahwa selama tahun 2023–2024, kandungan panas yang terserap pada lapisan permukaan laut hingga kedalaman 2.000 meter meningkat sebesar 16 zettajoule (10²¹ Joule), atau sekitar 140 kali lipat dari total produksi listrik dunia pada tahun 2023. Angka ini menjadi yang terbesar dari yang pernah tercatat dalam sejarah manusia.

Laut dapat berfungsi sebagai penyimpan panas, bahkan tercatat 90% dari kelebihan panas yang terjadi akibat pemanasan global tersimpan di lautan. Oleh karena itu, kandungan panas di lautan dapat menjadi indikator krusial dalam perubahan iklim.

Selain itu, terdapat faktor lain yang juga turut berkontribusi, seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO) yang memuncak pada Desember 2023 dan terus berlangsung hingga pertengahan 2024.

Akan tetapi, meskipun peristiwa El Niño telah berakhir pada pertengahan 2024, banyak daerah masih memiliki suhu permukaan laut yang luar biasa tinggi sepanjang tahun. Akibatnya, rata-rata suhu permukaan laut, utamanya di luar kawasan kutub, nilainya tetap tinggi, bahkan mencapai rekor, yaitu 20,87°C. Nilai ini meningkat sebesar 0,51°C dibandingkan dengan rata-rata suhu permukaan laut pada 1991–2020.

Apakah Perjanjian Paris Gagal?

Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), Celeste Saulo, mengatakan bahwa kenaikan suhu ini bukan berarti kegagalan. Target Perjanjian Paris merupakan target jangka panjang dan harus tetap dipenuhi melalui beragam upaya.

"Penting untuk ditekankan bahwa satu tahun dengan kenaikan suhu lebih dari 1,5°C tidak berarti kita telah gagal mencapai target suhu jangka panjang dalam Perjanjian Paris, karena target tersebut diukur dalam rentang waktu beberapa dekade, bukan satu tahun saja,” ungkap Saulo, dikutip dari situs resmi WMO.

“Namun, kita harus menyadari bahwa setiap kenaikan, entah sekecil apa pun dalam suhu global, pasti membawa dampak yang signifikan. Baik itu terjadi di bawah atau di atas 1,5°C, setiap peningkatan suhu global pasti akan memperburuk kondisi kehidupan, ekonomi, dan planet kita," tambahnya.

Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, juga mengutarakan bahwa kejadian ini bukan berarti kegagalan Perjanjian Paris. Namun kejadian ini mengindikasikan perlunya upaya yang lebih keras dari pemimpin dunia untuk berkomitmen mencegah perubahan iklim.

"Tahun-tahun individu yang melampaui batas 1,5 derajat tidak berarti tujuan jangka panjang telah gagal. Sebaliknya, ini menunjukkan bahwa kita harus berjuang lebih keras untuk kembali ke jalur yang benar,” katanya.

“Suhu ekstrem pada tahun 2024 ini menuntut aksi iklim yang lebih ambisius untuk tahun 2025. Masih ada waktu untuk mencegah dampak terburuk dari bencana iklim. Namun, para pemimpin harus bertindak, sekarang juga," tegasnya.

Baca Juga: Perubahan Iklim Jadi Ancaman Besar, Indonesia Punya Potensi Kerugian Hingga Rp577 Triliun

Penulis: Yazid Taufiqurrahman
Editor: Editor

Konten Terkait

Konflik Antar Negara Jadi Pemicu Utama Krisis Global 2025

Jika tidak ditangani dengan strategi yang tepat, krisis global dapat membawa konsekuensi jangka panjang.

Trump Putuskan AS Kembali ke Energi Fosil, Sebuah Kemunduran?

Trump memutuskan untuk kembali ke bahan bakar fosil dan membatalkan upaya transisi energi dalam rangka memperkuat ekonomi Amerika Serikat.

Terima kasih telah membaca sampai di sini

atau

Untuk mempercepat proses masuk atau pembuatan akun, bisa memakai akun media sosial.

Hubungkan dengan Google Hubungkan dengan Facebook