Perubahan iklim sebagai salah satu ancaman terbesar berskala global tengah menjadi perhatian dunia saat ini. Bahkan, kondisi ekonomi dunia juga turut dirugikan akibat masalah perubahan iklim.
Menurut laporan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), kerugian ekonomi akibat perubahan iklim secara global terus mengalami kenaikan setiap dekade, dan mencapai sebesar US$430,1 miliar pada 2020-2021.
Pakar IPB University bidang Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Prof Yonvitner, menilai bahwa Indonesia sendiri punya potensi kerugian Rp 110-577 triliun atau setara dengan 25% anggaran negara akibat perubahan iklim apabila abai melakukan pengelolaan pesisir laut dan pulau-pulau kecil berbasis risiko.
"Estimasi potensi nilai kerugian mencapai Rp 110,4–577 triliun hanya akibat perubahan iklim, jika digabung dengan kerugian akibat kerusakan ekosistem diperkirakan mencapai Rp 4.328,4 triliun,” ujar Yonvitner dalam orasi ilmiahnya berjudul Pengelolaan Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil Berbasis Risiko, Bogor, Sabtu (2/27).
Dalam orasinya, Yonvitner merincikan proyeksi persentase kerugian akibat kerusakan ekosistem pesisir, bencana hidrometeorologi, dan dampak kerugian pada kebutuhan dasar (air, energi, dan pangan) terhadap produk domestik bruto (PDB) tahun 2020.
Lebih lanjut, Yonvitner juga kerap memaparkan dampak dari perubahan iklim pada skala bioma, di mana perubahan pada mangrove dapat mencapai 967.000–1.693.000 hektare dengan estimasi nilai kerugian Rp 1.837,1–3.217,5 triliun atau setara dengan 24,8–43,5% dari PDB. Selain itu, kerusakan terumbu karang bisa mencapai 377.679 hektare atau 15%.
Padang lamun dengan estimasi nilai kerusakan 20.542 hektare atau 0,08%. Dan peningkatan tinggi muka air laut 0,35–0,8 meter yang berpotensi kerugian mencapai Rp 1,3 triliun per hektare setiap tahun pada lahan produktif.
Menurutnya, berdasarkan data-data tersebut, implementasi kebijakan dalam pembangunan berisiko belum dilakukan secara komprehensif, padahal terdapat 6 Undang Undang (UU) dan 11 Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur kebijakan dalam pembangunan berisiko.
“Saat ini kebijakan dalam pembangunan berisiko baru fokus pada risiko dari aktivitas industri. Namun risiko terhadap ekosistem dan lingkungan yang berbasis ruang (spasial) belum dapat perhatian yang cukup karena masih adanya sampai plastik, kerusakan karang akibat iklim, banjir rob di kawasan pantai serta subsidence,” ungkap Yonvitner.
Penulis: Anissa Kinaya Maharani
Editor: Iip M Aditiya