Musim hujan di bulan Ramadan lebih nikmat jika dilewati sambil menyantap makanan berkuah. Salah satu pilihan kuliner asli dari Indonesia yang berkuah adalah soto Lamongan. Kuliner satu ini menggunakan bahan utama ayam kampung dan bumbu rempah-rempah serta soun. Keistimewaan soto Lamongan dibandingan soto lainnya adalah tambahan koya udang yang menambah cita rasa gurih saat dinikmati.
Melansir ranking makanan olahan ayam berkuah versi TasteAtlas (2025), warga Indonesia boleh bangga karena soto Lamongan, kuliner asli Jawa Timur, berada di peringkat ke-2 mengalahkan makanan dari negara lain dengan meraih rating 4,4. Pada posisi pertama diraih makanan asal Thailand yaitu Tom Kha Gai.
Sejarah Soto Lamongan
Mengutip dari laman Lamongan Pos, soto Lamongan merupakan hidangan istimewa karena memadukan 3 budaya sekaligus yaitu China, Belanda dan Indonesia. Sentuhan kuliner China peranakan tampak pada penggunaan soun, kecap dan tauge. Sebagian antropolog berpendapat, kata “soto” berasal dari bahasa China, cau-tu yang arti harfiahnya adalah sup rempah isi jeroan.
Jejak kuliner Belanda muncul pada pemakaian ketumbar, merica, seledri dan kubis. Sementara itu penggunaan kunyit, jahe, lengkuas, serai dan daun salam mencerminkan tradisi kuliner Jawa. Oleh sebab itu kuah soto Lamongan berwarna kuning pekat dan kaya akan rempah-rempah.
Orang Belanda memodifikasi sup jeroan dari peranakan China dengan mengganti jeroan menjadi daging sapi atau kerbau. Pada masa peperangan, populasi sapi turun tetapi populasi ayam tetap stabil karena ayam mudah dipelihara sehingga ayam menggantikan daging sebagai bahan utama.
Pada zaman dahulu, masyarakat Lamongan menjajakan soto dengan cara memikulnya dan berkeliling dari kampung ke kampung. Tahun 1980 sampai 1990-an soto Lamongan mulai terkenal berkat perantau asal Jawa yang lelah bertani di desa mencoba peruntungan dengan berjualan soto di kota-kota besar hingga meyebar sampai ke negeri Jiran Malaysia.
Sejarah soto Lamongan tak lepas dari Dusun Kebontengah, Kecamatan Deket, Lamongan, Jawa Timur yang dipercaya sebagai tempat makam Buyut Bakal, juru masak Sunan Giri. Menurut kepercayaan setempat, Buyut Bakal berperan dalam perkembangan soto Lamongan yang kini menjadi mata pencaharian masyarakat di daerah tersebut.
Penggunaan koya sebagai pelengkap soto Lamongan menjadi ciri khas tersendiri dan menambah tekstur yang menarik pada kuah soto. Koya merupakan campuran sisa kerupuk udang dan bawang putih goreng yang ditumbuk halus. Masyarakat Lamongan menyiasati kerupuk udang yang patah dan tidak laku dijual dengan mengolahnya menjadi bubuk koya. Koya disajikan tepat di atas tumpukan soun, tauge dan serasi dengan kuah kuning.
Namun ada yang perlu diperhatikan ketika menyantap soto Lamongan yaitu penggunaan jeruk nipis peras atau lemon.
“Kandungan vitamin C dalam buah jeruk sangat sensitif terhadap panas. Jadi, jika salah satu unsur buah jeruk dimasukkan ke dalam makanan yang panas, zat kimianya akan hancur total. Hal ini akan mengakibatkan efek negatif dari vitamin C. Vitamin C juga meningkatkan kekebalan tubuh kita dan membantu melawan infeksi. Jika dicampur dengan makanan panas, vitamin C akan membantu menurunkan kadar ESI, yaitu peradangan dalam tubuh. Sebaiknya lemon digunakan pada suhu normal atau dalam makanan dingin,” ujar ahi gizi Namita Nadar seperti dikutip dari NDTV Food.
Soto Lamongan tidak hanya sekedar makanan orang Jawa, tetapi juga bagian dari warisan budaya yang memperkaya kuliner Nusantara. Rasa yang gurih, tekstur dan kesederhanaan bahan membuatnya dapat diterima berbagai kalangan, baik di Indonesia maupun mancanegara.
Baca Juga: Soto Betawi dan Rawon Masuk Top 10 Makanan Berkuah Terbaik di Dunia
Penulis: Faizza Fontessa
Editor: Editor