Survei Populix menunjukkan bahwa politik dinasti lebih ditoleransi dibandingkan politik uang. Sebanyak 21% responden merasa politik dinasti dapat diterima. Sementara itu, terdapat 44% responden merasa politik dinasti cukup bisa diterima. Alasan utamanya adalah, jika kandidat memiliki kompetensi yang baik maka status politik dinastinya tidak menjadi masalah.
Alasan lainnya adalah politik dinasti dinilai tidak menjadi masalah selama dipilih langsung oleh rakyat. Keinginan atas keberlanjutan program dan kesetiaan terhadap golongan tertentu juga berperan dalam pelestarian politik dinasti ini.
Bersamaan dengan itu, ada 25% responden yang menganggap dinasti politik kurang bisa diterima dan 10% responden merasa dinasti politik tidak dapat diterima.
Sejalan dengan yang diungkapkan responden, menurut akademisi dan praktisi hukum Titi Anggraini, politik dinasti dapat menimbulkan rendahnya kontrol atas kinerja pemerintah.
“Ketika demokrasi tidak ada kontrol, yang terjadi adalah penyalahgunaan, kesewenang-wenangan, praktik koruptif, dan juga pembangunan akan stagnan, kemiskinan semakin memburuk,” tutur Titi dalam laporan Watchdoc Documentary (25/11).
Pada Pilkada 2020 lalu, sebanyak 124 calon kepala daerah terindikasi politik dinasti. Dari jumlah tersebut, 72 di antaranya berhasil terpilih. Di Pilkada tahun ini, Indonesia Corruption Watch menemukan 155 dari 582 calon kepala maupun wakil kepala daerah terindikasi politik dinasti.
Ada 100 kandidat kepala daerah dan 55 kandidat wakil kepala daerah terafiliasi politik dinasti baik dari hubungan darah maupun hubungan pernikahan.
Berdasarkan daerahnya, ada 294 dari 545 daerah terpapar politik dinasti. Paling banyak terdapat di Sumatra.
Laporan ICW menyebutkan terdapat 33 provinsi terpapar politik dinasti. Hanya empat yang terindikasi bersih, yaitu Papua Barat, Papua, Papua Tengah, dan Papua Selatan. Akan tetapi, laporan Watchdoc Documentary menunjukkan beberapa calon kepala daerah di Papua memiliki hubungan darah maupun pernikahan dengan beberapa kepala daerah atau anggota lembaga legislatif.
Politik Dinasti dan Imbasnya pada Masyarakat
Dalam laporan Watchdoc Documentary, faktor-faktor negatif adanya politik dinasti dapat tercermin dalam capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di daerah. Contohnya, IPM di Mamuju Tengah dalam 5 tahun terakhir, rata-rata mencapai 66,91. Nilainya lebih rendah IPM Sulawesi Barat yaitu 67,02.
Sulawesi Barat terindikasi politik dinasti dengan Cagubnya yang memiliki hubungan darah dengan Bupati Mamuju aktif. Bahkan, ayah dan anak ini sama-sama mencalonkan diri menjadi Gubernur Sulawesi Barat.
Contoh lainnya, IPM di Maluku Utara mencapai 71,03, yang nilainya lebih rendah dari IPM nasional yaitu 74,21.
Bupati Halmahera Selatan periode 2016-2021 dan periode 2021-2023 merupakan keponakan dari Gubernur Maluku Utara periode 2014-2024, Abdul Ghani Kasuba.
Penilaian IPM sangat kompleks, mengikat unsur ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Tiga komponen utama ini tentu sangat dipengaruhi oleh kinerja pemerintahnya.
Menurut BPS, IPM disusun dari kualitas masa hidup dari angka harapan hidup, pengetahuan dari angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah, serta standar kehidupan dari pendapatan riil per kapita (menyesuaikan daya beli).
Akan tetapi, dampak dinasti politik terhadap rendahnya IPM ini tidak terlihat pada Provinsi Banten yang sudah santer isu politik dinasti. Kota Tangerang Selatan mencapai skor IPM hingga 82,89. Kemudian, Tangerang mencapai skor IPM 74,09. Provinsi Banten mencapai skor IPM 74,48. Angka ketiganya lebih besar dari IPM Nasional.
Baca Juga: 74% Masyarakat Indonesia Tak Laporkan Praktik Politik Uang, Apa Penyebabnya?
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor