Pengabulan gugatan praperadilan Pegi Setiawan atau Pegi Perong membuatnya terbebas dari tuduhan tersangka pembunuhan Vina dan Eki di Cirebon. Hal ini lantas menimbulkan tanda tanya, apakah polisi kembali salah tangkap? Atau hanya salah prosedur?
Dilansir Liputan 6, hasil praperadilan menyebut penetapan Pegi sebagai tersangka tidak berdasarkan hukum. Oleh karena itu, status tersebut dicabut dan pihak kepolisian diminta untuk menghentikan penyidikan serta memulihkan nama kedudukan Pegi.
“Bahwa terhadap tersangka ini tidak dilakukan pemanggilan, tetapi langsung ditanya kepada ibunya dan langsung dinyatakan DPO (Daftar Pencarian Orang). Setelah ditangkap, tidak dinyatakan sebagai saksi tapi langsung sebagai tersangka,” jelas Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung) Harli Siregar, mengutip Liputan 6.
Sejatinya, keputusan Mahkamah Konstitusi mewajibkan adanya pemeriksaan sebagai saksi terlebih dahulu, sebelum seseorang dinyatakan sebagai tersangka dengan bukti-bukti yang ditemukan.
Dalam rupa kasus demikian, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat ada 24 tindakan penangkapan sewenang-wenang oleh kepolisian dalam rentang Juli 2023-Juni 2024.
Sementara itu, Polri juga melakukan “salah tangkap” sebanyak 15 kali di periode yang sama. Hal tersebut mengakibatkan 23 orang menjadi korban, 9 di antaranya bahkan mengalami luka-luka.
Peristiwa salah tangkap paling banyak terjadi pada Oktober 2023 dengan 3 kasus, kemudian pada September 2023 dengan 2 kasus, Februari 2024 dengan 2 kasus, dan Juni 2024 dengan 2 kasus. Pada Juli dan Desember 2023, serta Januari, Maret, April, Mei 2024 masing-masing terdapat 1 kasus salah tangkap.
Kepolisian Resor (Polres) menjadi institusi yang paling sering melakukan kekeliruan ini, yakni sebanyak 9 kali. Kemudian, Kepolisian Sektor (Polsek) melakukan kesalahan yang sama sebanyak 5 kali, serta Kepolisian Daerah (Polda) sebanyak 1 kali.
Apakah Peran Polisi Memang Demikian?
KontraS menyebut, peristiwa ini merupakan bukti abai serta tidak hati-hatinya polisi atas dalam menegakkan hukum.
Seorang polisi wajib memiliki syarat-syarat formil dan dugaan kuat terhadap seseorang yang akan ditangkap berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tanpa hal tersebut, polisi dapat dianggap lalai dan sewenang-wenang.
Insiden seperti ini dapat menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem dan kepastian hukum, serta meningkatkan kerentanan pelanggaran hak-hak individu.
Penangkapan sewenang-wenang tidak hanya terjadi pada korban secara individu, namun juga dalam bentuk kelompok. Beberapa contohnya adalah penangkapan 15 orang mahasiswa yang berdemo mengenai 9 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo di Istana Negara, 20 Oktober 2023 lalu.
Selain penangkapan, pembubaran semena-mena juga kerap terjadi. Seperti di Sulawesi Selatan, ketika Forum Anomali dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Pare-Pare membahas prospek demokrasi dan isu-isu anomali dalam demokrasi Indonesia. Polda Sulawesi Selatan membubarkan aksi unjuk pendapat ini pada 19 Januari 2024.
Di Rempang, “penertiban” atas penyeruan pendapat warga bahkan sampai melibatkan kekuatan berlebihan (excessive use of force). Aksi tersebut diikuti penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, dan penggunaan gas air mata kepada warga yang berdemo pada 7 September 2023 lalu.
Baca juga: Negara dengan Tingkat Kepercayaan Polisi Tertinggi 2023
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor