Saat ini, Indonesia telah memasuki masa puncak bonus demografi periode 2020-2030. Dalam kondisi tersebut, jumlah penduduk usia produktif, yakni usia 15-64 tahun lebih banyak daripada usia nonproduktif. Adanya momentum bonus demografi tersebut, menjadi peluang besar bagi Indonesia untuk dapat melakukan perubahan dan pembangunan yang matang.
Bappenas menyebut, inovasi para usia produktif, terutama generasi muda dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk mencapai transformasi ekonomi, memberantas kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Akan tetapi, International Labour Organization (ILO) menunjukkan data yang kontradiktif. ILO merilis sebuah data mengenai tingkat pengangguran se-Asia Tenggara di tahun 2021. Dari data tersebut, Indonesia masuk ke dalam 3 besar negara dengan tingkat pengangguran paling banyak.
Indonesia berada di posisi kedua sebagai negara negara dengan tingkat pengangguran tertinggi, setelah Brunei Darussalam. Sebanyak 16% pemuda berusia 15-24 menganggur.
ILO mengungkap di tahun 2020 angka pengangguran pemuda di Indonesia mencapai 16%. Akan tetapi, data dari BPS menunjukkan angka pengangguran terbuka pada tahun tersebut hanya sebesar 7,07%.
Perbedaan persentase data dari ILO dan BPS dapat dipengaruhi oleh periode perhitungan data. Data dari BPS diambil per Agustus (yoy) atau lebih dari setengah tahun periode 2020, sedangkan data dari ILO dihitung per satu tahun (Januari-Desember 2020).
Merujuk pada data yang dirilis BPS, dapat dilihat bahwa tingkat pengangguran usia pemuda selalu mengalami penurunan. Ini merupakan sebuah pertanda yang baik bahwa semakin banyak pemuda yang terserap dalam lapangan pekerjaan.
Tingkat Partisipasi Pemuda dalam Pelatihan Kerja
Pemerintah melakukan berbagai upaya dalam menjalani masa bonus demografi sebagai sebuah peluang. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah ialah dengan membuka berbagai pendidikan nonformal atau pelatihan kerja.
Pelatihan ini diharapkan dapat memberikan keahlian tertentu bagi para pemuda agar mereka memiliki mutu dan daya saing sehingga siap diserap dalam lapangan pekerjaan.
“Pemuda harus mendapatkan layanan pendidikan, mulai dari SD-SMP-SMA. Pemerintah juga sudah menyediakan bagi anak muda yg berprestasi di perguruan tinggi maupun vokasi. Tidak mungkin pemuda dibiarkan menjadi SDM dengan kategori tidak bekerja tidak dalam mengikuti pendidikan ataupun pekerjaan,” jelas Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Femmy Eka Kartika Putri, dikutip dari Kemenko PMK.
Pada tahun 1999, ILO dan UNESCO menetapkan pendidikan dan pelatihan kerja atau Technical and Vocational Education and Training (TVET) sebagai konsep pendidikan serta
pelatihan teknikal dan vokasional, yang meliputi pendidikan dan pelatihan formal, nonformal, dan informal untuk dunia kerja. Fokus utama TVET adalah proses pembelajaran untuk mendapatkan pengetahuan teori dan kemampuan praktis yang berguna dalam dunia kerja.
BPS merilis sebuah data dalam Statistik Pemuda Indonesia 2022 dan hasilnya menunjukkan, sebanyak 26,74% atau setara 1 dari 4 pemuda Indonesia telah mengikuti pendidikan dan pelatihan formal dan nonformal.
Dari angka tersebut, persentase perempuan lebih tinggi dalam mengakses pendidikan dan pelatihan, yakni sebesar 27,65%. Sementara itu, persentase laki-laki yang mengikuti berbagai pendidikan dan pelatihan baik formal maupun nonformal sekitar 25,85%. Ini artinya, perempuan 1,8% lebih banyak mengakses dan mengikuti pendidikan dan pelatihan.
Sebagai informasi, hasil data mengenai Pendidikan dan Pelatihan Kerja untuk Pemuda hanya tersedia dalam Statistik Pemuda Indonesia 2022. Kategori survei tersebut tidak ditemukan dalam pelaksanaan survei-survei sebelumnya.
Seperti yang kita tahu, salah satu pendidikan dan pelatihan kerja yang banyak diminati oleh masyarakat ialah program Kartu Prakerja dari pemerintah.
Program Kartu Prakerja merupakan program pengembangan kompetensi kerja yang ditujukan untuk pencari kerja, pekerja/buruh yang terkena pemutusan hubungan kerja, dan/atau pekerja/buruh yang membutuhkan peningkatan kompetensi.
Program ini baru diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada 20 Maret 2020. Saat itu, banyak masyarakat yang mendapat PHK akibat dari adanya Covid-19. Untuk itu, Presiden Jokowi menggelontorkan sebanyak Rp20 triliun untuk program Kartu Prakerja pada 2020.
“Sampai akhir 2020, direncanakan akan ada lebih dari 30 gelombang pendaftaran. Dan, total anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk tahun ini adalah sebesar Rp20 triliun,” ungkap Menko Airlangga saat Launching Pendaftaran Kartu Prakerja, di Jakarta (11/4/2020), dilansir dari ekon.go.id.
Sementara itu, sebanyak Rp596 miliar telah disiapkan untuk 168.111 orang penerima Kartu Prakerja pada gelombang pertama. Ini artinya, masing-masing pemilik kartu prakerja mendapat dana insentif sebesar Rp3,55 juta.
Dana tersebut dirincikan: Rp 1 juta untuk biaya pelatihan, insentif pasca pelatihan sebesar Rp600 ribu per bulan selama 4 bulan (Rp2,4 juta), dan insentif pasca pengisian survei Rp50 ribu per survei dengan tiga kali survei (Rp1,5 juta).
Saat ini, insentif atau bantuan yang diberikan pemerintah melalui Program Kartu Prakerja mencapai Rp4,2 juta perorang. Sebanyak Rp3,5 juta digunakan untuk biaya pelatihan, Rp600 ribu sebagai bantuan pasca pelatihan diberikan hanya satu kali, dan Rp50 ribu per survei dengan dua kali survei (Rp100 ribu).
Hingga November 2022, Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat, penerima manfaat Kartu Prakerja telah mencapai 17,08 juta orang.
Penulis: Aslamatur Rizqiyah
Editor: Iip M Aditiya