Nama Thomas Lembong kembali muncul dalam percakapan publik setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi terkait kebijakan impor gula yang ia keluarkan saat menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada 2015-2016.
Sejak tahun 2015, kebijakan impor gula di Indonesia telah menjadi topik kontroversial yang mempengaruhi banyak aspek perekonomian nasional, dari industri pertanian hingga kesejahteraan petani tebu lokal. Kasus ini menjadi lebih kompleks dengan keterlibatan berbagai pihak, termasuk Direktur PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), Charles Sitorus, yang juga diduga terlibat dalam praktik penyimpangan izin impor gula kristal mentah.
Jumlah Impor Gula dari Mendag Tiap Periode
Dalam rentang waktu 2015 hingga 2023, posisi Menteri Perdagangan Indonesia diisi oleh lima tokoh berbeda yang masing-masing menerapkan kebijakan impor gula dalam upaya memenuhi kebutuhan konsumsi gula nasional. Kebijakan impor ini, yang dimulai sejak periode Tom Lembong pada 2015, masih terus berjalan hingga masa kepemimpinan Zulkifli Hasan di tahun 2023, meskipun dengan volume yang beragam.
- Tom Lembong (2015-2016): Menjabat sebagai Menteri Perdagangan pada periode awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, Tom Lembong mengeluarkan kebijakan impor gula kristal mentah. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2015, impor gula mencapai 4,36 juta ton, dan pada tahun berikutnya meningkat menjadi 5,02 juta ton.
- Enggartiasto Lukita (2017-2019): Menteri dari Partai NasDem ini mengimpor gula dengan volume tertinggi pada periode tersebut. Dalam tiga tahun masa jabatannya, tercatat Enggartiasto mengimpor total 13,97 juta ton, dengan rincian 4,40 juta ton pada 2017, 5,48 juta ton pada 2018, dan 4,09 juta ton pada 2019.
- Agus Suparmanto (2020): Menjabat untuk waktu singkat, Agus Suparmanto melanjutkan kebijakan impor dengan volume sebesar 5,53 juta ton.
- Muhammad Lutfi (2021-2022): Lutfi, yang pernah menjabat pada 2014, kembali mengimpor gula sebesar 11,49 juta ton selama dua tahun masa jabatannya, menjadikan tahun 2022 sebagai periode dengan impor tertinggi dalam rentang sembilan tahun terakhir.
- Zulkifli Hasan (2023): Menteri dari Partai Amanat Nasional ini melanjutkan kebijakan impor dengan volume 5,06 juta ton pada tahun 2023.
Kebijakan impor yang diterapkan oleh tiap Menteri Perdagangan ini menjadi sorotan, terutama ketika beberapa pihak mempertanyakan efektivitas impor gula di tengah meningkatnya produksi lokal.
Kasus ini kemudian mengangkat pertanyaan penting: Mengapa kebijakan impor gula terus dilanjutkan meskipun pemerintah menyatakan ingin mencapai swasembada gula? Berdasarkan data, produksi gula nasional memang cenderung tidak mampu mengimbangi kebutuhan konsumsi gula yang terus meningkat.
Baca Juga: Indonesia Impor 26 Juta Ton Gula Sepanjang 2019-2023
Perbandingan Produksi dan Konsumsi Gula Indonesia
Sejak 2013, produksi gula Indonesia terlihat berfluktuasi tanpa ada peningkatan signifikan. Pada tahun 2013, produksi gula nasional berada di angka 2,551 juta ton, sementara konsumsi gula mencapai 2,612 juta ton.
Seiring berjalannya waktu, konsumsi gula terus meningkat, sementara produksi dalam negeri tidak menunjukkan peningkatan berarti. Pada 2023, konsumsi gula mencapai 3,402 juta ton, tetapi produksi lokal hanya 2,271 juta ton, menciptakan defisit sebesar 1,131 juta ton.
Situasi ini memaksa pemerintah untuk melakukan impor guna menutupi kekurangan gula di dalam negeri. Meskipun langkah impor dipandang sebagai solusi cepat, praktik ini sering kali membawa konsekuensi buruk bagi petani lokal, yang harus menghadapi harga jual yang rendah di pasar domestik akibat persaingan dengan gula impor.
Ahli dari Asosiasi Gula Indonesia menyebutkan bahwa stok gula yang menumpuk di gudang dan pasar telah menciptakan kondisi jenuh, yang berpotensi menyebabkan harga gula lokal jatuh. Menurut Yadi Yusriadi, stok gula di akhir tahun 2022 diperkirakan cukup untuk memenuhi kebutuhan enam bulan pertama di 2023, mengindikasikan bahwa impor pada saat itu sebenarnya tidak diperlukan.
Kendala dan Tantangan di Industri Gula Indonesia
Di sisi lain, masalah dalam produksi gula dalam negeri tidak hanya terbatas pada faktor kebijakan, tetapi juga dipengaruhi oleh kondisi struktural dalam industri gula. Menurut Direktur Utama ID Food, Frans Marganda Tambunan, industri gula Indonesia mengalami anomali di mana luas areal tanam tebu dan rendemen (persentase gula yang dihasilkan dari tebu) meningkat, tetapi produksi justru mengalami penurunan. Masalah ini terjadi akibat iklim yang tidak menentu dan minimnya pemanfaatan teknologi di seluruh rantai pasok industri gula.
Indonesia kalah bersaing dengan negara-negara penghasil gula besar seperti Brasil dan India yang telah berhasil meningkatkan produktivitas mereka melalui penerapan teknologi modern. Di Brasil, misalnya, penggunaan mesin pertanian modern, teknik pemupukan yang efisien, serta pengelolaan hama yang terintegrasi telah membuat mereka mampu memproduksi 43 juta ton gula pada tahun ini. India pun menjadi eksportir gula global dengan mengandalkan inovasi teknologi dalam pengelolaan lahan dan produksi.
Berkaca pada kondisi ini, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian dan BUMN mulai menggulirkan beberapa program untuk mendorong swasembada gula. Salah satunya melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 yang menargetkan swasembada gula konsumsi pada 2028 dan swasembada gula industri pada 2030.
Menteri BUMN, Erick Thohir, menekankan pentingnya Indonesia untuk kembali mandiri dalam produksi gula. Ia menyampaikan kekhawatirannya bahwa tanpa inovasi teknologi, Indonesia yang dahulu dikenal sebagai penghasil gula terbesar kini malah menjadi pasar bagi gula impor. Erick juga menyerukan agar bangsa Indonesia tidak terus menjadi konsumen pasif di pasar global, namun berupaya menjadi produsen yang kuat dan kompetitif.
Penulis: Daffa Shiddiq Al-Fajri
Editor: Editor