Beberapa hari ini, media sosial dihebohkan dengan diskusi tajam mengenai nepotisme dan Asian Value. Isu yang awalnya tampak sederhana ini telah memicu perdebatan sengit, memecah opini menjadi dua kubu yang berseberangan.
Diskusi berawal dari adanya pernyataan Arie Putra, seorang pembawa acara politik, bahwa semua orang berhak mencalonkan diri sebagai pemimpin atau kepala daerah, termasuk anak dari pemegang kebijakan sekalipun. Beberapa pihak mengkritik cara pandang ini, terutama menyoroti cara pencalonan diri anak pejabat yang sering kali cacat hukum. Praktik itu pun dilihat sebagai tindakan nepotisme yang tidak adil dan penghalang bagi sistem meritokrasi.
Perdebatan terus berlanjut hingga muncul pernyataan tentang nepotisme merupakan bagian dari Asian Value yang sudah ada sejak dahulu. Jadi, benarkah nepotisme adalah Asian Value?
Tampaknya, cara pandang ini cenderung benar untuk dikritisi karena nepotisme tidak seharusnya diposisikan sebagai sebuah “value”. Merujuk pada pengertiannya, nepotisme adalah praktik mengutamakan saudara atau teman dekat dalam hal-hal terkait jabatan, pangkat, dan kedudukan di pemerintahan. Secara ilmu politik, nepotisme merupakan patogen dalam demokrasi.
Sementara Asian Value merujuk pada nilai atau prinsip budaya yang dianggap khas atau umum dalam masyarakat Asia. Pemakaian istilah sebuah penyakit untuk merujuk pada aspek budaya atau prinsip kelompok tertentu sangat berbahaya, karena dapat dianggap merendahkan atau menghina kelompok tersebut, dalam hal ini masyarakat Asia secara luas.
Lebih lanjut mengenai nepotisme, praktik ini sendiri merupakan salah satu faktor dalam perhitungan Indeks Persepsi Korupsi atau Corruption Perseptions Index (CPI) oleh koalisi global bernama Transparency. Selain nepotisme, perhitungan CPI juga didasarkan pada beberapa faktor seperti penyuapan, pengalihan dana publik, penyalahgunaan kekuasaan, dan banyak lainnya.
Lantas, apakah benar nepotisme, salah satu aspek korupsi, merupakan hal yang khas atau hanya ada di Asia?
Skor CPI yang rendah menunjukkan buruknya persepsi tentang tingkat korupsi di negara tersebut. Negara dengan indeks persepsi yang tinggi berdasarkan peringkat berturut-turut adalah Denmark (90 poin), Finlandia (87), dan Selandia Baru (85). Sementara di peringkat terendah, Somalia (11), disusul oleh Venezuela, Syria, dan Sudan Selatan (13). Indonesia sendiri berada di peringkat 115 dengan indeks 34 poin.
Melalui persebaran data di atas, terlihat bahwa persepsi buruk akan korupsi tidak hanya berpusat di negara Asia, tetapi juga muncul di negara-negara benua lainnya. Dengan demikian, anggapan bahwa nepotisme merupakan Asian Value dapat ditolak, karena di belahan dunia lain pun praktik yang merugikan ini juga terjadi.
Meski begitu, fakta ini tidak menutup kenyataan bahwa di tengah masyarakat kita masih ada yang menganggap praktik nepotisme bukanlah patogen demokrasi. Pro kontra akan persoalan ini tidak hanya mencerminkan kompleksitas nilai-nilai budaya, tetapi juga menunjukkan betapa kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk opini publik saat ini.
Penulis: Afra Hanifah Prasastisiwi
Editor: Editor