Orang kaya semakin kaya, orang miskin semakin miskin. Itulah yang sering kali dirasakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini, khususnya bagi kalangan menengah.
Di tengah kondisi ekonomi yang tidak stabil ini, mereka harus berkelahi dengan gaji yang terbatas, kebutuhan melarat, hingga harga kebutuhan yang meningkat. Tidak heran bahwa kini kelompok menengah di Indonesia semakin tergerus ke jurang kemiskinan.
Sampai sekarang, keberadaan kelompok menengah di Indonesia masih dipandang sebelah mata. Keberadaannya tidak bisa dikatakan sebagai kelompok yang mampu, namun tidak masuk kategori penduduk miskin juga. Hal inilah yang membuat kelompok menengah mengalami krisis akan status sosial, membuatnya sulit mengakses berbagai fasilitas dan perlindungan.
Bank Dunia mendefinisikan "kelas menengah" sebagai kelompok yang pengeluarannya antara 3,5 hingga 17 kali dari garis kemiskinan. Data yang ada menunjukkan bahwa pengeluaran kelompok penduduk 20% teratas di Indonesia—yang merupakan kelompok dengan kekayaan tertinggi—terus meningkat secara konsisten.
Pengeluaran per Kapita Menurut Kelompok Sosial
Pada tahun 2021, pengeluaran kelompok penduduk 20% teratas tercatat sebesar Rp2.047.232, dan terus meningkat menjadi Rp2.326.868 pada tahun 2022, bahkan mencapai Rp2.479.796 pada tahun 2023.
Kenaikan yang signifikan ini mencerminkan adanya konsentrasi kekayaan di kelompok atas, yang semakin mengukuhkan jurang kesenjangan antara kelas atas dan kelompok menengah.
Sebaliknya, pengeluaran kelompok 40% menengah Indonesia cenderung mengalami penurunan. Pada tahun 2021, pengeluaran kelompok ini adalah Rp1.076.861 per bulan, meningkat sedikit menjadi Rp1.185.430 pada tahun 2022. Namun, pada tahun 2023, pengeluaran kelompok menengah justru menurun menjadi Rp1.170.286.
Penurunan ini menggambarkan tekanan ekonomi yang dialami oleh kelompok menengah, yang tampaknya tidak dapat mengikuti laju inflasi dan peningkatan biaya hidup yang tinggi.
Kelompok 40% terbawah, yang merupakan mereka dengan pengeluaran terendah, menunjukkan kenaikan pengeluaran yang relatif rendah, dari Rp621.244 pada tahun 2021 menjadi Rp671.242 pada tahun 2023.
Meskipun terjadi peningkatan, kenaikannya tidak sebanding dengan kenaikan pengeluaran kelompok atas, sehingga ketimpangan semakin terlihat jelas.
Pendapatan Masyarakat Memengaruhi Daya Beli
Dalam Ilmu Ekonomi, dikenal prinsip Hukum Engel, yang memperlihatkan bahwa ketika pendapatan seseorang semakin rendah, maka semakin besar pengeluaran yang digunakannya untuk konsumsi makanan. Pada akhirnya, fenomena ini mengakibatkan penurunan daya beli di tengah masyarakat.
Daya beli masyarakat yang menurun menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat turut menurun, sehingga dapat memengaruhi eksistensi kelompok menengah yang semakin terkikis. Apabila hal ini terjadi, artinya pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami guncangan.
Kelompok Menengah Semakin Tergerus di Era Pemerintahan Jokowi
Pada masa pemerintahan Jokowi di periode kedua, pertumbuhan ekonomi tidak lagi inklusif, khususnya bagi kelompok menengah, dibanding periode sebelumnya. Sebagian besar hasil kebijakan atau program pemerintah kini cenderung hanya dirasakan oleh 20% kelompok terbawah dan 10% kelompok teratas, sementara kelompok kelas menengah yang meliputi 40%-80% dari populasi cenderung terabaikan.
Selain dianaktirikan, kelas menengah juga mengalami ketidakadilan dari sisi fasilitas dan perlindungan sosial di tengah pembayaran pajak, iuran, dan pungutan baru yang dibebankan secara bersamaan.
Apabila melihat realitas yang terjadi sekarang ini, perilaku pemerintah dianggap semakin membebani kelas menengah, seperti minimnya dukungan dari bantuan sosial (bansos), harga pangan yang terus naik, pajak semakin tinggi, serta terbitnya berbagai rencana baru yang menuai protes publik, salah satunya adalah pemungutan iuran wajib Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat).
Terjadinya kenaikan biaya hidup dan inflasi yang tinggi lebih berat dirasakan oleh kelompok menengah dan terbawah. Sementara itu, kelompok atas dapat lebih mudah mengatasi fluktuasi ekonomi berkat kekayaan yang lebih besar. Dampak dari kebijakan yang tidak merata ini adalah membuat kelas menengah semakin menipis dan jumlah orang miskin meningkat.
Ketidakmerataan dalam distribusi pendapatan dan pengeluaran menjadi masalah utama yang harus diatasi agar kesejahteraan dapat lebih merata. Upaya untuk menyeimbangkan kebijakan ekonomi agar tidak hanya menguntungkan kelompok atas tetapi juga mendukung kelas menengah dan terbawah sangat diperlukan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Solusi untuk Memprioritaskan Kelas Menengah
Terwujudnya komitmen pemerintah dalam memerhatikan kepentingan kelas menengah dapat dilakukan dengan cara memerhatikan perlindungan sosial, meningkatkan kesempatan kerja untuk kelas menengah, serta menghadirkan dan meningkatkan layanan publik yang lebih baik dan berkualitas.
Perlindungan sosial untuk kelas menengah bukan hanya soal dukungan keuangan tetapi juga kualitas layanan. Kelas menengah mengharapkan birokrasi yang efisien, layanan publik yang berkualitas, pendidikan yang baik, serta kesehatan yang memadai, serta keadilan dan demokrasi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu fokus pada kemajuan ekonomi yang berkualitas demi meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia dan memperluas jumlah golongan menengah. Pemerintah harus memastikan pertumbuhan ekonomi yang dinamis dan berkelanjutan agar kelas menengah dapat berkembang dan sejahtera.
Baca Juga: Baru 57% Warga Jakarta Memiliki Tempat Tinggal Tetap, Pemerintah Keluarkan Kebijakan Tapera
Penulis: Zakiah machfir
Editor: Editor