Sri Lanka kini tengah diterpa krisis ekonomi paling parah sejak kemerdekaannya tahun 1048. Tingginya harga energi dan kebutuhan pokok membuat masyarakat kian tertekan hingga tidak dapat membeli bahan bakar minyak (BBM) impor, bahkan dengan uang tunai.
Perdana Menteri Sri Lanka Ranil Wickremesinghe mengatakan melakukan kesepakatan dengan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) merupakan jalan satu-satunya mengembalikan keadaan perekonomian.
"Kami sekarang menghadapi situasi yang jauh lebih serius di luar sekasar kekurangan bahan bakar, gas, listrik, dan makanan," sebut Wickremesinghe kepada Bloomberg, Kamis (23/06)
Sri Lanka membutuhkan 6 miliar dolar AS dalam beberapa bulan mendatang untuk menopang cadangannya, membayar tagihan impor yang membengkak, dan menstabilkan mata uang. Lalu apa penyebabnya?
Gagal bayar utang hingga krisis energi
Merilis data dari CEIC Data, utang pemerintah dari Produk Domestik Bruto (PDB) dilaporkan mencapai 99,5 persen pada Desember 2021. Rekor ini turun dibanding sebelumnya yakni 99,5 persen pada September 2021.
Besaran utang pemerintah diyakini menjadi keruntuhan ekonomi. Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri sebesar 51 miliar dolar AS atau sekitar 729 triliun (kurs Rp14.300). Dilansir dari Times of India, total peminjaman utama adalah ke China dengan total mencapai 8 miliar dolar AS atau setara dengan Rp114.400 triliun melalui skema Belt and Road Initiative (BRI), atau sekitar seperenam dari total utang luar negerinya.
Dikabarkan juga kini para Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan sekolah di Sri Lanka menerapkan sistem kerja dari rumah atau work from home selama dua minggu sejak Senin (20/6). Keputusan tersebut dilakukan karena untukmengheman cadangan BBM yang semakin langka. Meski demikian, beberapa pelayanan pemerintah seperti perawatan kesehatan tetap bekerja seperti biasa.
Peliknya situasi Sri Lanka ini membuat ratusan ribu warga dilaporkan mulai berbondong-bondong meninggalkan negaranya. Terlihat dari melonjaknya permintaan paspor dalam lima bulan pertama 2022, pihak imigrasi telah mengeluarkan 288.645 paspor. Permintaan tersebut naik dari periode yang sama di 2021 yakni sebesar 91.331 paspor.
Melihat keadaan kebangkrutan ekonomi Sri Lanka tersebut, apakah berpengaruh bagi Indonesia?
Krisis Sri Lanka tidak berpengaruh bagi Indonesia
Melihat dari sektor perdagangan, krisis yang dialami di Sri Lanka tidak memiliki efek besar bagi perekonomian Indonesia. Perdagangan sektor ekspor-impor tidak mengganggu perdagangan dan cadangan devisa negara.
Merilis data Badan Pusat Statistik (BPS) eskpor Indonesia ke Sri Lanka tercatat sebesar 379,9 juta dolar AS atau sekitar 5,43 triliun (kurs=Rp14.300), sekitar 0,16 persen dari total ekspor Indonesia pada tahun 2021. Komoditas ekspor tersebut meliputi minyak kelapa, karet, besi, hasil minyak, dan semen.
Sementara itu, Indonesia membeli barang dari Sri Lanka sebesar 53,35 juta dolar AS atau Rp762 miliar. Nilai tersebut sama dengan 0,03 persen dari total impor Indonesia pada tahun 2021. Barang impor dari Sri Lanka ke Indonesia didominasi oleh komoditas tekstil, yakni Bahan sulaman atau rajutan, barang lain dari tekstil, tule, kain beludru, serta mesin untuk mengerjakan tekstil. Barang impor lainnya terlihat pada komoditas olahan ikan, udang, dan kerang.
Meski demikian, Indonesia diharapkan untuk waspada melihat penyebab dari runtuhnya perekonomian Sri Lanka hingga jatuh dalam keadaan krisis. Kenaikan harga seluruh bahan pokok dan barang-barang seperti makanan, bensin, obat-obatan, dan sembako juga turut menjadi alasan keadaan krisis ekonomi di suatu negara.
Selain Sri Lanka beberapa negara lain yang mengalami bangkrut karena utang, siapa saja mereka?
6 negara bangkrut karena utang
Kebangkrutan di Sri Lanka ternyata juga pernah dirasakan oleh beberapa negara lainnya seperti pada 2008 lalu, Zimbabwe salah satu negara di kawasan Afrika pernah mencatat kisah kelam dalam perekonomiannya. Zimbabwe pernah terlilit utang sebesar 4,5 dolar AS atau sekitar Rp64,8 triliun. Angka ini telah menciptakan rekor infolasi tertinggi di dunia.
Negara lainnya yakni adalah Yunani yang dikenal sebagai negara dengan jumlah penduduk yang kecil tetapi pernah mengalami keterpurukan ekonomi pada 30 Juni 2015. Kondisi tersebut disebabkan oleh kegagalan negara dalam membayar utang yang totalnya mencapai 360 miliar euro atau Rp5 triliun.
Kondisi resesi ekonomi juga dirasakan oleh Argentina yang sudah dua kali dinyatakan gagal membayar utang negara. Pada 2001, Argentina gagal membayar utang sebesar Rp2.025 triliun atau sekitar 100 miliar dolar AS. Lalu kemudian 2014 para kreditur menolak penawaran negosiasi pembayaran utang pemerintah Argentina. Para pihak lembaga pemeringkat utang, Standard & Poor's (S&P) langsung memposisikan Argentina dalam status 'Selective default'.
Sementara itu, Venezuela pernah masuk dalam krisis ekonomi pada tahun 2017. Meski dikenal sebagai negara yang kaya akan minyak, Venezuela justru kehilangan pemasukan saat harga minyak turun hingga tak mampu membayar. Saat itu jumlah utang yang harus ditanggung yakni mencapai 150 miliar atau sekitar Rp2.025 triliun.
Tidak berbeda dengan Venezuela, Ekuador juga mengalami keterpurukan saat harga minyak jatuh pada tahun 2014. Bahkan sejak 2014-2017 utang Ekuador naik signifikan hingga melebihi batas aman 40 persen dari total PDB.
Keruntuhan ekonomi dunia kini sedang tidak baik-baik saja. Prediksi Dana Moneter Internasional atau IMF menjadi perhatian serius Presiden Joko Widodo. Merujuk IMF, Jokowi mengatakan perekonomian puluhan negara di dunia diperikakan bakal ambruk pada 2022.
"IMF menyampaikan akan ada kurang lebih 60 negara yang ambruk ekonominya, yang 40 diperkirakan pasti," ucap Jokowi melalui rilisnya, Selasa (14/06).
Jokowi meminta kepada seluruh kementerian dan lembaga negara untuk waspada terhadap kondisi perekonomian global saat ini. Terlebih juga melihat kondisi peperangan Rusia-Ukraina, hingga bubarnya pemerintahan Israel dan Bulgaria, serta persoalan pandemi turut menjadi alasan keterpurukan ekonomi di dunia.
Penulis: Nabilah Nur Alifah
Editor: Iip M Aditiya