Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode 2019-2024 mencatat telah mengesahkan 225 Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi Undang-Undang (UU) resmi. Dari 225 RUU yang disahkan, 48 di antaranya adalah Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Pengesahan RUU paling banyak terlaksana pada tahun sidang 2024-2025.
Jumlah RUU yang disahkan menjadi UU pada periode ini menjadi yang paling banyak dalam 15 tahun terakhir. Pada periode 2014-2019, RUU yang disahkan menjadi UU hanya sebanyak 91 RUU. Kemudian, pada periode 2009-2014, ada 126 RUU yang disahkan menjadi UU.
Sementara itu, secara umum, DPR menjadi salah satu lembaga dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang rendah. Dalam survei Indikator Politik Indonesia (periode survei 10-15 Oktober 2024), hanya ada 4% responden yang sangat percaya dengan DPR dan ada 60% responden yang cukup percaya.
Tren kepercayaan publik terhadap DPR cukup fluktuatif, titik paling rendahnya pada Mei dan Oktober 2022, yaitu mencapai 48%. Kemudian, titik teratasnya tercapai beberapa waktu lalu, tepatnya pada Juli 2024, sebesar 68%.
Sejumlah Undang-Undang “Kontroversial” yang Disahkan DPR RI
Di antara sederet RUU yang disahkan, beberapa telah menuai kontra besar di masyarakat hingga menggerakkan massa. RUU tersebut seperti Omnibus Law UU Cipta Kerja, UU IKN, UU KUHP, UU Kementerian Negara, dan UU Dewan Pertimbangan Presiden.
Beberapa pasal rentan mengakibatkan kemunduran demokrasi. Pasal 217-240 KUHP misalnya, menyebut bahwa pelaku penghinaan kepada presiden dan atau wakil presiden mendapat ancaman tiga tahun penjara.
Pasal yang lain juga menyebut ancaman kepada orang yang melontarkan hinaan pada lembaga negara seperti DPR atau Polri.
Kemudian, dalam Pasal 256, tercatat pemberian hukuman pidana paling lama 6 bulan bagi masyarakat yang melakukan demonstrasi tanpa pemberitahuan.
Dalam KUHP disebutkan ancaman pidana bagi pihak yang diduga menyebarkan berita bohong dan menyebabkan kerusuhan. Dengan demikian, pasal 263 dan 264 tersebut dapat berimbas pada kebebasan pers. Padahal, persoalan menyangkut pers semestinya diselesaikan di meja Dewan Pers.
RUU Penyiaran juga menyita perhatian karena larangan penayangan konten investigasi pada Pasal 50B Ayat (2). RUU tersebut juga menyebut bahwa sengketa pers dapat diselesaikan di pengadilan. Selain itu, KPI juga berperan dalam sengketa pers.
Akan tetapi, RUU ini belum disahkan dan diharapkan akan selesai pada periode berikutnya.
Sementara itu, UU IKN menjadi kontroversial karena prosesnya yang dinilai terburu-buru, dikala protes masih banyak diajukan. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga menyoroti persoalan lingkungan yang ditimbulkan dari regulasi tersebut. Komplain lain juga diperoleh UU IKN karena dianggap menyinggung persoalan budaya, ekonomi, hukum, politik, hingga HAM.
Terakhir, UU Kementerian Negara dan UU Wantimpres yang membuat jumlah anggotanya tidak terbatas, juga menuai kontroversi. Salah satunya bagi kementerian, kenaikan anggaran menjadi persoalan yang tak lepas dibicarakan.
Penulis: Ajeng Dwita Ayuningtyas
Editor: Editor